Tahun Kemenangan
AMANAT PRESIDEN SOEKARNO
PADA ULANG TAHUN
PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA,
17 AGUSTUS 1962 DI JAKARTA
Saudara-saudara!
Hari ini adalah hari Jum’at. Sebagian
dari Saudara-saudara, nanti, sebelum “bedug”, harus meninggalkan
lapangan ini, dan kemudian pergi ke masjid untuk salat-Jum’at. Karena
itu, pidato saya kali ini tidak saya buat sepanjang pidato saya yang
dulu-dulu. Tetapi akan saya katakan kepada Saudara-saudara hal-hal yang
menurut pendapat saya harus mendapat perhatian kita yang utama.
Dengarkan, Saudara-saudara!
Hari ini adalah hari 17 Agustus 1962.
Pada hari ini Republik kita genap berusia 17 tahun! Lebih dari tahun
yang sudah-sudah, kita pada hari ini mempergunakan perkataan “keramat”.
Hari-keramat, oleh karena pada hari 17
Agustus lah kita memproklamirkan kemerdekaan kita, yang merupakan
landasan bagi kehidupan nasional Bangsa Indonesia.
Hari-keramat, oleh karena pada 17
Agustus dimulai lahirnya Undang-Undang Dasar ’45, yang sebagai saya
katakan dulu, merupakan satu “Declaration of Independence”, yang
menghidupkan kepribadian Bangsa Indonesia dalam arti yang
seluas-luasnya: kepribadian politik, kepribadian ekonomi, kepribadian
sosial, kepribadian budaya, – pendek kata kepribadian Nasional.
Hari-keramat pula, oleh karena tiap 17
Agustus mendorong kita untuk masing-masing menempatkan diri kita pada
cita-cita asli perjoangan Bangsa Indonesia yang sejak berpuluh-puluh
tahun itu, ialah melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat.
Juga hari-keramat, oleh karena tiap 17
Agustus memberikan tekad baru kepada kita, ilham baru, inspirasi baru,
untuk melanjutkan perjoangan kita yang masih tetap berat dan penuh
rintangan ini.
Hari keramat lagi, oleh karena tiap 17
Agustus kita mencari titik-pertemuan nasional yang seluas-luasnya, yang
dapat kita pakai sebagai alat koreksi terhadap
penyeléwéngan-penyeléwéngan dalam Revolusi kita ini, yang kita ketahui
masih lama belum selesai.
Dan hari-keramat pula, oleh karena tiap
17 Agustus merupakan suatu saat yang terbaik untuk mengadakan
stock-opname dari hasil yang telah dicapai dalam tahun yang baru lampau:
Kemajuan dan kemunduran, harapan dan kekecewaan, korbanan dan
keuntungan, kemalangan dan kemujuran, – itu-semua kita registrir secara
integral pada tiap 17 Agustus, sebagai modal, sebagai peringatan,
sebagai dorongan, bagi perjoangan dalam tahun-tahun yang akan datang.
Ini, saya kira, inilah arti secara
integral dari tiap hari ulang tahun 17 Agustus, – sejak 17 Agustus 1946
sampai kepada 17 Agustus 1962 sekarang ini, sampai kepada 17 Agustus 17
Agustus yang akan datang.
Karena pentingnya hari 17 Agustus
sebagai yang saya katakan itulah, maka saya selalu menamakan hari 17
Agustus hari-keramat, malahan pernah saya namakan hari-maha-keramat.
Apalagi 17 Agustus sekarang ini! Apa sebab?
Pada hari ini Republik kita genap berusia 17 tahun!
Saudara-saudara!
Saya tahu, bahwa pada 17 Agustus
sekarang ini, saudara-saudara melihat kepada saya. Dan karena saya tahu
itu, saya merasa agak cemas, karena sadar akan besarnya
pertanggungan-jawab yang saya pikul. Saya tahu, bahwa saudara-saudara
pada hari sekarang ini, hari yang luar-biasa ini, dalam hati saudara
laksana menagih kepada saya: “Apa yang hendak Bung Karno katakan? Apa
yang Presiden akan amanatkan? Apa yang Pemimpin Besar akan wejangkan?”
Saya tahu, bahwa itulah dinanti-nantikan
oleh umum, – dinanti-nantikan dengan hati berdebar-debar, penuh dengan
harapan. Saya tahu pula, bahwa pidato ini didengar oleh seluruh dunia,
bahkan diintip-intip dan dihintai-hintai oleh sebagian daripada dunia.
Mengenai rasa hati saudara-saudara, –
saya dapat mengikuti dan mengerti perasaan saudara-saudara dan harapan
saudara-saudara itu. Bahkan lebih dari itu: saya dapat membenarkan hati
berdebar-debar yang sekarang mengisi kalbu saudara-saudara itu. Sebab
hati saudara-saudara yang berdebar-debar itu membuktikan bahwa jiwa
saudara-saudara adalah jiwa yang berkobar-kobar, jiwanya orang-orang
yang
berjoang, dan bukan jiwa orang-orang yang mlempem atau mati kutu.
Saya sendiripun menghadapi hari 17
Agustus sekarang ini dengan hati yang berdebar-debar! Dan saya menulis
pidato yang saya baca sekarang ini dalam kesunyiannya alam Tampaksiring
di Bali dengan hati yang berdebar-debar, yang laksana merobek kesunyian
Tampaksiring itu menjadi penuh dengan gelora, merobek angkasa yang sejuk
itu menjadi angkasa yang penuh dengan tanya dan jawab yang
bertubi-tubi. Ya! Saya menulis pidato ini sebagaimana biasa dengan
perasaan cinta yang meluap-luap tehadap tanah-air dan bangsa, tetapi ini
kali dengan perasaan terharu yang lebih daripada biasa terhadap
keuletan Bangsa Indonesia, dan kekaguman yang amat tinggi terhadap
kemampuan Bangsa Indonesia. Dengan terus terang saya katakan di sini,
bahwa beberapa kali saya harus ganti kertas, oleh karena air-mataku
kadang-kadang tak dapat ditahan lagi. Tak dapat ditahan lagi, oleh rasa
gembira pada diri sendiri, dan rasa terimakasih kepada seluruh Bangsa
Indonesia yang telah menunjukkan keuletan yang sedemikian itu, dan rasa
syukur Alhamdulillah kepada Tuhan yang Maha-Adil, yang telah
mengkaruniai perjoangan yang ulet itu dengan pahala yang maha-tinggi.
Dengan penuh rasa haru, tetapi pula
dengan penuh keyakinnn, saya menamakan dalam pidato ini, tahun 1962
sebagai TAHUN KEMENANGAN, – A YEAR OF TRIUMPH!
Dan dengan menamakan tahun 1962 ini
Tahun Kemenangan,
maka sekaligus saudara-saudara dapat mengerti apa sebab saya terharu,
dan sekaligus pula dapat menangkap nada dari isi pidato ini.
Bandingkanlah nada-nada pidato-pidato saya pada pelbagai hari 17 Agustus:
Pada pidato Resopim tahun yang lalu, saya berkata pada pembukaanya:
“Alangkah bahagianya kita pada hari ini!
Pada hari ini, kita merayakan hari ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan
kita yang ke XVI. Pada hari ini, Republik kita genap berusia dua windu.
Pada hari ini, kita boleh menyebutkan angka keramat 17
dua kali. Dua kali!
Sebab pada hari ini, kita mengalami 17 Agustus ketujuhbelas kalinya.
Pada hari ini kita mengalami 17 X 17 Agustus! Dus pada hari ini, kita
mengalami 17 Agustus tingkat maha-keramat!”
Demikian nada pidato Resopim. Nada bahagia. Bahagia dalam arti simbolik. Bahagia karena mengalami 17 X 17 Agustus.
Nada pidato 1959 (pidato “Penemuan
Kembali Revolusi kita”) adalah lain. Nadanya nada memperingatkan. Dalam
pidato itu saya minta rakyat
mengcamkan Proklamasi kita yang
keramat itu. Saya pada waktu itu berkata: “Dengan tegas saya katakan
“mengcamkan”. Sebab, hari ulang tahun keempatbelas daripada Proklamasi
kita itu harus benar-benar membuka
halaman baru dalam sejarah Revolusi kita,
halaman baru dalam sejarah Perjoangan Nasional kita”.
Nada 17 Aguslus 1957 dan 17 Agustus 1958
lain lagi. Nadanya dua pidato itu ialah nada yang sangat mineur, nada
tak gembira, nada yang menggambarkan perasaan kecewa.
17 Agustus 1957 saya berkata: “Hati kita
amat terharu. Terharu bahwa Republik kita tetap berdiri. Terharu,
karena mengingati penderitaan-penderitaan dan korbanan-korbanan kita
untuk mendirikan dan mempertahankan Republik ini. Terharu pula, bahwa
kita diberi oleh Tuhan kemampuan untuk menyadari penyakit-penyakit dan
keburukan-keburukan yang menghinggapi tubuh masyarakat kita dalam masa
duabelas tahun itu, terutama sekali di masa yang akhir-akhir ini”.
Tidakkah ini satu nada yang tak gembira?
Datang 17 Agustus 1958. Lagi nada pidato
saya amat mineur. Malah nada yang menggambarkan perasaan letih-sedih.
Hampir-hampir dengan suara yang bikin-bikinan saya berkata: “Ini adalah
salah satu ulang tahun Republik Indonesia yang paling diperhatikan
orang. Diperhatikan orang di dalam dan di luar negeri. Bagaimana suasana
di Jakarta pada hari ini? Apakah suasananya suasana yang tertekan,
suasananya Rakyat yang baru saja dapat pukulan-pukulan di badannya, –
babak-belur, babak-bundas? Apakah suaranya suara Rakyat yang telah
remuk-redam dalam jiwanya, suara Rakyat yang telah megap-megap?”
Ya, saudara-saudara perkataan-perkataan
ini memang menggambarkan isi-hati yang amat sedih pada waktu itu, –
waktu di mana pemberontakan P.R.R.I.- Permesta sedang memuncak, waktu,
di mana orang-orang Bangsa Indonesia sendiri menikam-nikam tubuhnya
Negara bangsanya sendiri, laksana anak menikam tubuh Ibunya sendiri.
Buat apa saya mengajukan sekali lagi
nada pidato-pidato yang lampau? Agar saudara-saudara dapat mengikuti
gelombang naik-turunnya Revolusi kita ini. Agar saudara-saudara dapat
menyadari
secara sungguh-sungguh pasang-surutnya Revolusi kita itu. Agar
saudara-saudara dapat menjangkau masa yang lalu itu dalam iapunya mujur
dan iapunya malang. Dan akhirnya, agar saudara-saudara dapat mengerti
nanti – jika sudah saya uraikan – apa sebab pidato saya yang sekarang
ini, (pidato 17 Agustus 1962), saya beri judul
“Tahun Kemenangan”, –
“A Year of Triumph”.
Ya, dulu kita pernah mengalami “a year
of decision”, dan pernah mengalami “a year of challenge”, – sekarang
kita berada dalam “a year of triumph”! A year of triumph, satu tahun
kemenangan, atau lebih tegas satu tahun
permulaan kemenangan
dalam Rodanya Revolusi, yang tidak saja dirasakan oleh Rakyat Indonesia,
tetapi diakui pula oleh dunia-luar, bahkan mungkin dikaguminya juga.
Apakah kemenangan ini kemenangan yang
pertama dalam Revolusi kita? Adakah kemenangan-kemenangan lain? Adakah
sebelum
kemenangan tahun 1962 ini, kemenangan-kemenangan ke satu, ke dua, ke
tiga, ke empat? Jawaban atas pertanyaan ini adalah agak sukar. Revolusi
selalu mengalami pasang-pasang-mujur dan pasang-pasang-malang. Revolusi
adalah Revolusi, oleh karena ia adalah satu banjir yang mengalir, yang
tidak diam, yang tidak beku. Selalu di dalamnya ada saat-saat menang,
tetapi ada pula saat-saat babak-belur. Kecuali itu, pengertian
“kemenangan” adalah sangat relatif.
Apa yang kita ketahui dengan pasti ialah, bahwa Revolusi kita pernah mengalami beberapa saat yang
menentukan.
Pertama, tentu saat 17 Agustus 1945 sendiri, saat kita memulai dengan Revolusi formil.
Kedua, saat pengakuan kedaulatan pada akhir tahun 1949.
Ketiga, saat kita
sadar
bahwa penyelèwèngan-penyelèwèngan sedang berjalan, yaitu saat-saatnya
tahun 1957, di mana kita sebagai reaksi atas penyelèwèngan-penyelèwèngan
itu mengambil putusan membendung dan menghentikan
penyelèwèngan-penyelèwèngan itu. Saat-saat tahun 1957 itu saya cakup
dalam sebutan “tahun ketentuan”, – “a year of decision”. Jikalau pada
waktu itu kita tidak sadar atas penyelèwèngan-penyelèwèngan itu, maka
Revolusi Indonesia niscaya akan terjungkel samasekali dalam alam
liberal, terjungkel-tersungkur samasekali dalam alamnya
ketidak-revolusian.
Keempat, saat-saat tahun 1959, – saat-saat di mana kita tidak saja
mengatasi penyelèwèngan-penyelèwèngan, tetapi juga
menemukan kembali Revolusi kita, rediscover our Revolution -, dan juga memberi
landasan yang teguh kepada Revolusi kita, berupa
Manipol-USDEK.
Sekarang
Kelima! Sekarang dalam tahun 1962 ini kita mengalami lagi satu kemenangan, setidak-tidaknya satu tahun yang
menentukan,
oleh karena hasil perjoangan dalam tahun 1962 ini menentukan jalannya
Revolusi kita kejurusan yang benar, – decisive in the right direction -,
ya, decisive in the right direction, sehingga tahun 1962 boleh saya
namakan satu Tahun dalam mana kita mencapai satu Kemenangan. Mencapai
satu Kemenangan, dimungkinkan oleh karena sejak tahun 1959, Revolusi
kita bukan lagi satu Revolusi yang “gumantung tanpa cantelan”, tetapi
satu Revolusi yang berideologi, satu Revolusi yang berkonsepsi, satu
Revolusi yang
berlandasan, – satu Revolusi yang berlandasan
Manipol-USDEK!
Baik saya tandaskan di sini, bahwa 1962 membawa hasil-baik kepada kita, oleh karena kita
ber-Manipol-USDEK.
Ya! oleh karena kita ber-Manipol-USDEK!
Artinya: Kemenangan itu tidak mungkin kita capai, kalau umpamanya kita
tidak ber-Manipol-USDEK, melainkan tetap berliberalis, tetap
ber-multiparty-system, tetap tanpa kemudi, tetap tanpa bimbingannya ide
Sosialisme.
Oh tentu, saya yakin, saya sadar tentang
semangat perjoangan Bangsa Indonesia, saya sadar tentang keuletan dan
kemampuan Bangsa Indonesia, tetapi Bangsa Indonesia yang tidak
berkepribadian Nasional, Bangsa Indonesia yang tidak ber-Revolusi,
Bangsa Indonesia yang tidak ber-Manipol-USDEK, Bangsa Indonesia yang
tidak benar-benar ber-Pancasila, Bangsa Indonesia pendek-kata yang tidak
ber-RESOPIM, Bangsa Indonesia yang demikian itu tidak akan mencapai
hasil-hasil perjoangan sebagai yang dicapainya dalam tahun 1962 ini.
Artinya: Bangsa Indonesia yang hanya berjoang
tok, atau hanya ulet
tok, atau hanya bersemangat
tok, atau hanya ridla berkorban
tok, atau hanya membanting-tulang
tok, – Bangsa Indonesia yang hanya demikian itu
tok,
tidak akan mencapai hasil perjoangan yang maksimal. Tetapi Bangsa
Indonesia yang berjoang secara ulet, secara habis-habisan, secara
mati-matian, berdasarkan
RESOPIM, baru dapat mencapai hasil-perjoangan secara maksimal yang mengagumkan seluruh dunia!
Saya tidak melebih-lebihi arti kata!
Saudara-saudara dapat goyang-kepala dan berkata, bahwa pengakuan
kedaulatan pada 27 Desember 1949 dapat juga dipakai sebagai alasan untuk
menyebutkan tahun 1949-1950 satu Tahun Kemenangan. Benar,
saudara-saudara! Kita juga dapat menamakan tahun 1949-1950 satu Tahun
Kemenangan. Kita juga tidak dapat menyangkalnya dan tidak seorangpun mau
menyangkalnya. Akan tetapi dapat segera saya tambahkan di sini, bahwa
kemenangan tahun 1949 itu adalah satu kemenangan dari Revolusi
phisik semata-mata, dan satu kemenangan yang kita peroleh dengan babak-belur, dédél-duwél, babak-bundas.
Revolusi kita pada waktu itu belum
meliputi Revolusi Mental. Belum berpijak kepada Manipol-USDEK! Revolusi
kita pada waktu itu belum merupakan benar-benar satu Revolusi
Multicomplex, yang meliputi Revolusi phisik, Revolusi mental, Revolusi
sosial-ekonomis, Revolusi kebudayaan. Revolusi kita pada waktu itu boleh
dikatakan semata-mata ditujukan kepada mengusir kekuasaan Belanda dari
Indonesia. Maka sesudah kekuasaan Belanda terusir, sesudah khususnya
kekuasaan
politik Belanda lenyap dari bumi Indonesia, menjadilah
Revolusi kita satu Revolusi yang tidak mempunyai pegangan yang tertentu.
Menjadilah Revolusi kita satu Revolusi yang oleh seorang fihak Belanda
dinamakan “Een Revolutie op drift”. Menjadilah Revolusi kita satu
Revolusi yang tanpa arah. Menjadilah Revolusi kita satu Revolusi yang
penuh dengan dualisme. Menjadilah Revolusi kita satu Revolusi yang
tubuhnya bolong-bolong dan dimasuki kompromis-kompromis dan
penyeléwéngan-penyeléwéngan. Hampir-hampir saja kemenangan 1949 itu
merupakan satu Kemenangan Bohong, – satu
Pyrrhus-overwinning -, satu kemenangan sementara, satu kemenangan satu hari yang merupakan satu permulaan daripada Keruntuhan Total!
Dan jikalau umpamanya kita pada tahun 1957 tidak menggunturkan kita-punya “
stop penyeléwéngan!”, “stop pengkhianatan!”, “kembali kepada kesadaran!”, jikalau kita tidak membuat tahun 1957 “
a year of decision“, maka kita niscaya tidak akan dapat memperingati tahun 1959 sebagai tahun
penemuan kembali Revolusi kita,
– the Year of the Rediscovery of our Revolution! Jikalau tidak
penyeléwéngan-penyeléwéngan sejak hampir-Pyrrhus-overwinning 27 Desember
1949 itu lekas-lekas dicorrigir, – sebagai yang memang kita corrigirkan
-, maka saya kira Revolusi Indonesia akan mempunyai gambaran yang
sangat berlainan daripada sekarang, yaitu gambaran: pencideraan,
reaksionerisme, dekadensi, disintegrasi, mungkin keruntuhan total.
Tetapi Alhamdulillah!
Alhamdulillah kita dalam waktu yang tepat dapat membendung penyelé-wéngan-penyeléwéngan!
Alhamdulillah kita dalam waktu yang singkat dapat memberikan landasan yang kokoh kepada Revolusi kita, berupa Manipol-USDEK.
Alhamdulillah kita sejak tahun yang lalu dapat berjoang atas dasar RESOPIM.
Dan Alhamdulillah kita pada hari 17
Agustus 1962 ini dapat menunjukkan hasil sedemikian rupa, sehingga tahun
1962 pantas kita namakan “Tahun Kemenangan” atau “A Year of Triumph”.
Tuhan adalah Besar, dan kepada-Nya kita memanjatkan kita punya terimakasih!
Saudara-saudara!
Apa yang merupakan kemenangan dalam tahun 1962 ini?
Pada tahun 1959, ketika saya membentuk Kabinet Kerja, maka saya menetapkan bagi Kabinet Kerja itu satu landasan-kerja yang
terang-gamblang dan
tegas-jelas,
dan yang benar-benar mencerminkan kebutuhan pokok dari Rakyat Indonesia
dalam jangka pendek. Satu landasan-kerja yang dapat menjadi penyemangat
dan pengilham Bangsa Indonesia dalam beberapa tahun yang singkat. Satu
landasan-kerja yang tidak mengulur kata melantur-lantur. Satu
landasan-kerja yang berisikan “appeal” kepada Rakyat. Satu
landasan-kerja yang dapat menjadi
pekik-perjoangan Rakyat!
Landasan-kerja itu ialah
Triprogram Pemerintah
yang termasyhur: sandang-pangan, keamanan, anti imperialisme termasuk
pembebasan Irian Barat. Cekak-aos, kompak-padat, terang-gamblang,
tegas-jelas! Anak kecil dapat menghafalkan Triprogram ini! Dan saya
tentukan jangka waktu tidak lebih dari
tiga tahun untuk mencapai hasil maksimal-layak daripada pelaksanaan Triprogram itu!
Wah, banyak orang, baik di dalam maupun
di luar negeri, mengejek Triprogram itu. Mengejek isinya bagi sesuatu
program Pemerintah (“kok cuma itu”, kata mereka), dan terutama sekali
mengejek jangka waktu penyelenggaraannya yang hanya tiga tahun itu.
“Tiga tahun, mana bisa!” kata mereka.
Memang di tahun-tahun yang lampau
Indonesia terkenal sebagai satu negara yang banyak niat, tetapi hasil
sedikit. Bangsa yang pandai sekali meletakkan batu pertama, tetapi
jarang sekali dalam waktu layak meletakkan batu terakhir. Bangsa yang
selalu menunjukkan jurang lebar antara ide dan perbuatan. A nation with a
large gap between ideas and acts”…
Ejekan-ejekan tadi merupakan satu
tantangan bagi saya. “Tantangan bagi saya pribadi sebagai putera
Indonesia. Tantangan bagi saya sebagai Presiden Republik Indonesia.
Tantangan bagi saya sebagai pembentuk kabinet dan penyusun Triprogram.
Tantangan bagi saya malahan, sebagai Pemimpin Besar Revolusi.
Saya tahu bahwa potensi kekuatan dan kemampuan Bangsa Indonesia adalah amat besar, dan bahwa Bangsa Indonesia suka berjoang.
Saya tahu bahwa kekayaan alam Indonesia boleh dikatakan tak ada batasnya.
Tetapi, namun demikian, saya sadar, bahwa Triprogram Pemerintah tak dapat terlaksana
hanya dengan perjoangan hebat semata-mata, atau
hanya
dengan membanting-tulang memeras-keringat semata-mata. Triprogram
Pomerintah hanya dapat terlaksana dengan perjoangan hebat dan pemerasan
keringat
plus satu hal yang lain.
Apa “plus” itu? Plus itu ialah Landasan Nasional. Plus itu ialah
Jurusan Jiwa Nasional.
Triprogram Pemerintah dapat dilaksanakan dalam jangka waktu yang ditentukan, jika
segala kekuatan,
segala tenaga materiil dan spirituil,
segala
funds and forces dikerahkan secara serentak, secara gotong-royong,
secara holopis-kuntul-baris! Dan ini hanya dapat diwujudkan, jika
Revolusi kita mempunyai Landasan Nasional yang kokoh, mempunyai Landasan
Sosial yang bersinggasana dalam hatinya Rakyat, mempunyai Kepribadian
politik-sosial-ekonomis-kulturil yang benar-benar berbénténg dalam
api-jiwanya Rakyat.
Dengan pendek-kata, jika perjoangan
Bangsa Indonesia didasarkan atas RESOPIM, maka niscaya Triprogram dapat
dilaksanakan, bahkan tidak ada satu tugas yang tidak dapat diselesaikan
oleh Bangsa Indonesia yang kini hampir 100.000.000 itu, dan berkekayaan
alam yang tiada taranya di muka bumi itu, – gemah-ripah-loh-jinawi.
Dengan dasar RESOPIM itu Bangsa Indonesia akan selalu dapat
menyelesaikan tugas-adil yang bagaimanapun, dan akan selalu dapat
mengungguli nyanyian penyair asing yang berdendang:
“The difficult jobs we finished today.
The impossible we tackle tomorrow”.
(Yang sukar-sukar, kita selesaikan sekarang.
Yang tak mungkin, kita selesaikan besok.)
Atas dasar pengertian yang saya uraikan
di muka itulah, saya tak pernah kecil-hati atas hasil karya Bangsa
Indonesia dalam rangkaian Triprogram, meski ditertawakan dari kanan dan
kiri, meski diejek dari muka dan belakang.
Karena kita mempunyai RESOPIM!
Dus, Saudara-saudara!: Kepercayaan saya
adalah teguh atas daya-penggeraknya RESOPIM itu. Maka dari itu sekarang
Saudara dapat mengerti, apa sebab sejak 1959, tiap pidato 17 Agustus
saya selalu berpangkal dan berputar sekitar
indoktrinasi. Sejak
tahun 1959 itu, maka boleh dikatakan tiap pidato 17 Agustus, dari
halaman pertama sampai ke halaman terakhir, mengandung
wejangan.
Wejangan mengenai Revolusi; wejangan mengenai Pancasila dan
progresivisme; wejangan tentang kepribadian Indonesia yang berpusat
kepada gotong-royong, musyawarah dan mufakat; wejangan tentang persatuan
Nasional Revolusioner; wejangan membantras komunisto-phobi; wejangan
mutlak-perlunya poros Nasakom; wejangan mengenai jahatnya liberalisme;
wejangan mengenai perlunya Satu Pimpinan Nasional; wejangan mengenai
sosialisme, sosialisme, sosialisme, dan sekali lagi sosialisme. Hanya
jika landasan-landasan ini menjadi milik-bersama daripada Rakyat,
milik-bersama daripada para pemimpin, milik-bersama daripada seluruh
Angkatan Bersenjata, maka dapatlah dicapai hasil-hasil gemilang dalam
Revolusi Indonesia, hasil gemilang pula dalam pelaksanaan Triprogram.
Bagaimana Saudara dapat mempersatukan
segala funds and forces, kalau Saudara menganut liberale parlementaire
democratie? Justru liberale parlementaire democratie sendiri mengandung
prinsipe adu-domba antara golongan dengan golongan, antara individu
dengan individu, Dan lebih-lebih dalam turunnya kapitalisme sekarang
ini, – abad Kapilalismus in Niedergang -, lebih-lebih dalam abad
sekarang ini maka prinsipe adu-domba dari liberale parlementaire
democratie itu dieksploitir oleh subversi asing guna kepentingannya
sendiri.
Bagaimana Saudara dapat mengajak Rakyat
memperjoangkan sesuatu keadilan, kalau Saudara hendak membawanya ke
ekonomi liberal yang mengandung unsur exploitation de l’homme par
l’homme?
Bagaimana Saudara dapat mengajak
Rakyat-jelata mempertahankan Negara, membebaskan Irian Barat, kalau
perlu dengan darah dan jiwanya, kalau Negara itu tidak menyanggupkan
kepada Rakyat-jelata, si Dadap, si Waru, si Suta, si Naya satu kehidupan
yang adil dan makmur, satu kehidupan yang tata-tentrem-karta-raharja?
Pengertian-pengertian inilah yang harus
meresap di hati-sanubari Rakyat dan seluruh pemimpin-pemimpinnya secara
meluas dan mendalam. Pengertian-pengertian inilah merupakan satu-satunya
landasan yang dapat membawa Homo Indonesiensis kepada
pengorbanan-pengorbanan dan aktivitas-aktivitas ke arah kemakmuran,
keadilan, kebesaran. Tanpa landasan ini, maka segala aktivitas warga
Indonesia, segala pertumbuhan di Indonesia, hanya merupakan “kemajuan
tambal-sulam” belaka, diombang-ambingkan oleh nafsu ketamaan dan
percekcokan, tersandung tersungkur tiap-tiap kali oleh nafsu
jegal-jegalan, nabrak ke sini nabrak ke situ oleh karena tidak tahu
harus berjalan ke arah mana.
Inilah yang selalu saya utamakan dalam
memberi pimpinan kepada Revolusi Indonesia. Karena itu saya selalu
mewejang. Karena itu saya selalu mengajar. Rakyat perlu diwejang, agar
ia tahu benar-benar bahwa Revolusi ini adalah Revolusi
nya.
Pemimpin dari segala macam corak perlu diwejang, agar ia tahu
benar-benar bahwa Revolusi ini bukan “Revolusi Pemimpin”, tetapi
Revolusi
Rakyat dengan tenaga Rakyat dan dengan tujuan yang menguntungkan kepada
Rakyat.
Tidak boleh lagi ada pemimpin-pemimpin gadungan! Tidak boleh lagi ada
pemimpin yang mulutnya berkemak-kemik Manipol, tapi sebenarnya tak
mengerti apa Manipol! Tidak boleh lagi ada pemimpin yang pura-pura
pro-Manipol, tetapi sebenarnya anti-Manipol! Dengan Rakyat yang sudah
masak indoktrinasi Manipol, maka pemimpin-pemimpin gadungan itu nanti
semuanya akan disapu bersih oleh Rakyat sendiri!
Ya! saya mengutamakan apa yang saya
namakan “Landasan” itu! Saya tahu, bahwa menamakan Landasan itu adalah
sulit, khususnya pada waktu-waktu permulaan. Dari kanan dan dari kiri
(kiri bukan dalam makna haluan politik) saya mendapat
tentangan-tentangan, terutama sekali dari kalangan-kalangan “vested
material interest” dan “vested political interest”, baik dari dalam
maupun dari luar negeri. Dari kanan dan dari kiri saya dicemoohkan dan
ditertawakan, dan disebutkan yang bukan-bukan. Sampai sekarangpun
cemoohan itu masih ada yang berjalan terus. Juga dalam kalangan
hyper-intellektuil Indonesia masih ada saja terselip di sana-sini
orang-orang yang begitu berkarat otaknya dengan ajaran-ajaran
staatsrecht Barat, liberalisme, dan liberale parlementaire democratie,
sehingga mereka tak mampu lagi menganggap artinya “Landasan” itu, dan
lantas basak-bisik menggrundel, mencemooh, mengejek.
Tetapi, justru “Revolution rejects
yesterday”! Revolusi membuang orde tua, diganti orde baru. Justru
Revolution bukan Revolution, kalau tidak ada tentangan dari vested
interest vested interestnya orde tua itu, beserta tentangan dari
hyper-intellectuelendom yang memang “geboren en getogen in de oude orde”
– “dilahirkan dan dibesarkan dalam orde yang tua” yang hendak kita
bongkar dan kita rombak dan kita ganti samasekali itu. Karena itu,
apapun orang katakan dari dalam dan dari luar, – kita berjalan terus!
Kita berjalan terus atas Landasan MANIPOL-USDEK-RESOPIM! Dan Landasan
itu akan tertanam subur, akan tumbuh subur! Sekali Landasan itu
bermahkota dalam kalbunya Rakyat, sekali ia laksana Wahyu Cakraningrat
bermahligai dalam apinya jiwa Rakyat, maka Indonesia yang Jaya Raya,
Indonesia yang Adil Makmur, akan menjadilah kenyataan sampai ke akhir
zaman. Dan tidak akan ada satu kekuatan duniawipun yang akan dapat
merongrong atau menghancurkan Indonesia dalam bentuk yang semacam itu!
Karena itu sekali lagi saya berkata:
Kita berjalan terus! Berjalan terus atas dasar RESOPIM! Berjalan terus
atas dasar Landasan: Revolusi – Sosialisme Indonesia – Satu Pimpinan
Nasional! Seperti yang saya katakan tahun yang lalu: kita tak perlu
menjiplak orang lain. Kita melalui jalan kita sendiri. Kita tahu, –
demikian saya katakan tahun yang lalu “baik negara-negara yang sudah
tua, maupun negara-negara yang anyar merdeka, ataupun negara-negara yang
masih terbelakang dalam lapangan teknik dan ekonomi, di antara mereka
itu banyak yang mengira bahwa syarat mutlak untuk kemajuan Negara dan
Bangsa ialah kemajuan teknik dan modal uang semata-mata. Mereka tidak
tahu, bahwa dalam abad ke XX salah satu dasar bagi kemajuan nasional
ialah
konsepsi ideologi yang progresif revolusioner, berdasarkan atas kepribadian nasional!”
Apa yang saya katakan tahun yang lalu
itu, merupakan dasar daripada pimpinan saya dalam melaksanakan
perjoangan Nasional. Tiga kali berturut-turut pada tiap-tiap 17 Agustus,
– 17 Agustus 1959, 17 Agustus 1960, 17 Agustus 1961 -, saya selalu saja
tandas-tandaskan dasar kepribadian Nasional, dasar Revolusi, dasar
progresivisme, dasar sosialisme, dasar pertumbuhan baru dari dunia yang
sedang bergolak, dan sedikit sekali tentang soal-soal yang teknis
materiil. Oleh karena itu, maka ada sementara orang yang berkata: “Bung
Karno pandai pidato politik, akan tetapi tak memperdulikan samasekali
soal-soal ekonomi”. Saya tahu adanya kritik-kritik yang demikian itu!
Akan tetapi saya berkata kepada Saudara-saudara: Strategi pimpinan saya
sudah memperhitungkan makna dari kritik-kritik tersebut! Strategi
pimpinan saya sudah mengkopyok pro-pronya dan kontra-kontranya
kritik-kritik semacam itu. Bagaimanapun tahun yang lalu saya sudah
naikkan lagi puncak strategi itu, dan saya sudah mencapai puncak
Landasan yang saya maksudkan. Tahun yang lalu saya sudah mencapai
Kulminasi daripada Landasan perjoangan Nasional. Tahun yang lalu saya gelarkan Landasan-Betonnya RESOPIM!
Maka, dengan Landasan RESOPIM, bagaimana
halnya dengan pelaksanaan Triprogram? Dalam pelaksanaan Triprogram itu,
saya berikan prioritas yang setinggi-tingginya kepada
pemulihan keamanan.
Sebab, selama keamanan belum pulih, selama masih ada
gerombolan-gerombolan D.I.-T.I.I., sisa-sisa P.R.R.I.-Permesta,
aksi-aksi gelap subversi asing, maka acara Sandang-Pangan dan Perjoangan
Anti Imperialisme sukar dapat dikejar secara jitu. Bahkan lebih
daripada itu! Selama keamanan masih terganggu, selama tenaga-tenaga
anti-Republik masih bebas berkeliaran ke sana-sini, maka selalu Kesatuan
Indonesia dalam bahaya, selalu Kesatuan Indonesia dalam keadaan
terancam. Gangguan-gangguan keamanan dan oknum-oknum pengganggu keamanan
itu selalu menjadi alat subversi asing untuk melakukan peranan yang
bermaksud menekan kemajuan kita atau keruntuhan kita samasekali. Karena
itu maka saya berikan prioritas kepada pemulihan keamanan itu,
penggempuran dan penghancuran daripada golongan-golongan gerombolan yang
tak mau menyerah. Sebagai yang saya katakan tahun yang lalu, maka lebih
dari 50 % dari seluruh kegiatan nasional kita, kita tujukan kepada
penghancuran daripada gangguan-gangguan keamanan itu. Dan Angkatan
Bersenjata secara keseluruhan ditugaskan untuk melenyapkan segala
gangguan keamanan itu selambat-lambatnya akhir 1962.
Dan Angkatan Bersenjata, dengan bantuan Rakyat, telah melaksanakan tugas ini dengan baik.
Dapat saya beritahukan bahwa berkat
lindungan Tuhan Yang Maha Esa, berkat tepat dan ampuhnya politik
keamanan yang telah saya gariskan dalam Manifesto Politik, berkat
jerih-payah serta darah para prajurit dan Rakyat yang bersatu-padu, maka
Program Keamanan itu
dapat diselesaikan pada waktunya. Sekarang
lebih kurang 95 % telah selesai, dan Angkatan Perang kita kegiatannya
sudah dialihkan titik-beratnya kepada fasal ketiga dari Triprogram,
yaitu
Irian Barat.
Atas hasil pelaksanaan tugas di bidang
Keamanan ini, maka saya atas nama Pemerintah dan Rakyat menyatakan rasa
terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada segenap anggauta
Angkatan Bersenjata, yang telah menunaikan tugas Darma Baktinya dengan
penuh keinsyafan dan keikhlasan pengorbanan. Terimakasih ini juga saya
tujukan kepada alat-alat Negara lainnya, serta Rakyat, yang membantu
Angkatan Bersenjata hingga dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
Namun hasil-hasil yang telah kita capai
ini perlu dikonsolidasi dan distabilisasi. Usaha-usaha konsolidasi dan
stabilisasi itu meliputi:
A. Rehabilitasi dari Aparatur Negara
yang telah rusak dan kacau sebagai akibat dari gangguan keamanan, dan
usaha itu dilandaskan pada jiwa USDEK.
B. Rehabilitasi Materiil, Personil,
Mental dan Phisik, Sosial-Ekonomi, di daerah-daerah yang bertahun-tahun
telah menderita akibat gangguan keamanan.
C. Mensukseskan Triprogram dan Manipol pada umumnya.
Ini semuanya adalah usaha-usaha yang disebut dengan “operasi follow-up keamanan”.
Hasil-hasil selama tiga tahun, di mana
pada permulaan pemberontakan dari apa yang disebut Gerombolan
D.I.-T.I.I. Kartosuwiryo dan P.R.R.I.-PERMESTA pada tahun mulainya
Kabinet Kerja, mereka telah menguasai
seperenam dari wilayah
Republik Indonesia dengan perkiraan kekuatan lebih kurang 125.000 orang
tenaga tempur, dengan senjata 45.000 pucuk, berat dan ringan, kini
hampir seluruh (95%) dari wilayah Republik Indonesia telah dibebaskan
dari Gerombolan Pemberontak. Hingga kini dapat ditewaskan 23.495 orang,
dan 133.365 orang yang kembali ke pangkuan Republik Indonesia, sedangkan
senjata yang telah kita rampas adalah 40.317 pucuk, berat dan ringan.
Juga kegiatan subversif mereka selama ini sebagian besar telah dapat
kita patahkan atau kita gagalkan. Ini semua tidak akan dapat berhasil
jikalau tidak ada pengorbanan-pengorbanan dari kita. Selama ini segala
usaha-usaha dalam pemulihan keamanan telah meminta korban dari kita,
yaitu 3.736 orang gugur dari prajurit-prajurit Angkatan Bersenjata dan
O.K.D. dan 6.213 orang dari Rakyat; luka-luka 5.164 orang dari prajurit
Angkatan Bersenjata dan O.K.D., dan 4.375 orang dari Rakyat.
Puncak dari segala usaha-usaha yang
telah kita selenggarakan seperti yang saya sebutkan tadi ialah
tertangkapnya Kartosuwiryo pada tanggal 4 Juni tahun 1962 yang lalu,
yang kemudian disusul dengan penyerahan diri dari beratus-ratus
pengikutnya secara berangsur-angsur.
Ini adalah satu kenyataan yang harus
diterima oleh seluruh Bangsa Indonesia dengan rasa lega dan gembira.
Rasa lega dan gembira karena penderitaan-penderitaan yang selama ini
dirasakan oleh Rakyat telah dihentikan.
Rasa lega dan gembira, karena dengan pulihnya keamanan, Negara akan dihindarkan dari
pemborosan
lebih lanjut daripada jiwa, harta benda, dan kekayaan alam, dan
dapatlah potensi nasional dikerahkan dan dipusatkan kepada usaha-usaha
lain, yaitu Pelaksanaan Pembangunan Semesta Berencana serta usaha-usaha
besar di bidang lain-lain, dan Pembebasan Irian Barat.
Ya, sekarang pembebasan Irian Barat! Ini
bukan saja termasuk dalam rangka Triprogram, yang dus harus kita
laksanakan, tetapi pada hakekatnya adalah satu Tuntutan Nasional secara
mutlak. Segala tekad nasional kita, segala semangat perjoangan kita,
segala rasa harga-diri kita, kita tumplekkan habis-habisan kepada
pembebasan Irian Barat itu. Sebagian besar daripada kekayaan nasional
kita, kita ambyurkan ke dalam perjoangnn pembebasan Irian Barat itu.
Mengapa kita bersikap demikian?
Mengapa kita bertekad demikian?
Apakah kita ini didorong oleh fanatisme
belaka? Atau didorong oleh rasa prestise belaka? Atau untuk memperluas
daerah Republik Indonesia? Tidak, samasekali tidak! Kita tidak dicambuk
oleh fanatisme, kita tidak main politik prestise, kita bukan
imperialis-ekspansionis yang haus kepada perluasan daerah. Daerah
kekuasaan kita sudah cukup luas dan cukup kaya untuk memberi makan dan
hidup-senang kepada lebih dari 250.000.000 manusia Indonesia!
Pun kita tidak membebaskan Irian Barat
untuk menambah jumlah penduduk! Jumlah penduduk dalam daerah kekuasaan
Republik sekarang ini sudah hampir 100.000.000 orang, dan apa arti
tambahan 750.000 putera Irian Barat kepada jumlah 100.000.000 itu?
Pertimbangan untuk mencari keuntungan
ekonomi? Atau tambahan kekayaan alam? Itupun tidak! Daerah yang dalam
kekuasaan Republik sudah mempunyai kekayaan alam yang berlimpah-limpah,
baik yang sudah dieksplorir dan dieksploitir, maupun yang belum
dieksplorir dan dieksploitir, sehingga semua imperialis ngiler
kétés-kétés melihat kekayaan alam kita itu. Ada imperialis yang
mengatakan bahwa tidak adil 90.000.000 maanusia diberi kekayaan alam
sebanyak itu!
Nah apakah gerangan sebabnya kita begitu
mati-matian membebaskan Irian Barat? Tak lain tak bukan, oleh karena
kita adalah satu Bangsa yang mempunyai dasar-jiwa, satu Bangsa yang
mempunyai prinsipe, satu Bangsa yang mempunyai karakter. Pembebasan
Irian Barat, sebagian daripada tanah-air kita, adalah bagi kita satu
soal prinsipe, satu Kewajiban Suci daripada Jiwa Indonesia, – luas atau
tidakkah Irian Barat itu, kaya atau tidakkah Irian Barat itu,
berpenduduk banyak atau sedikitkah Irian Barat itu. Perjoangan
membebaskan Irian Barat merupakan satu unsar fundamentil daripada
Nationbuilding kita, bahkan juga satu dasar fundamentil daripada
characterbuilding
Indonesia. Sejak dulu mula kita menyubur-nyuburkan karakter-tulen
kepada Bangsa Indonesia, jauh daripada oportunisme, jauh daripada jiwa
penjiplak, jauh daripada Sklavengeist, atau jiwa budak-belian yang tidak
mengenal kehormatan. Kalau belakangan ini ada seorang moralis-politikus
berkata “A nation with character is worth to live for, is worth to
sacrifice for”, – “satu bangsa yang berkarakter pantas kita sajikan
hidup dan korbanan kepadanya” -, maka kita telah mencam-camkan
keagungan-jiwa yang demikian itu kepada Rakyat Indonesia jauh sebelum
“Sturm über Asien” menderu-deru di angkasa Timur! Itulah sebabnya kita
juga membantu perjoangan lain-lain bangsa yang menentang kolonialisme,
dengan tidak memperdulikan bangsa itu apa warna kulitnya atau apa corak
agamanya. Misalnya perjoangan bangsa Aljazair kita bantu keras, dan kita
turut gembira sekali bahwa perjoangan mereka itu telah berhasil. Hidup
Aljazair! Hidup kemerdekaan di manapun juga! Matilah kolonialisme
seterusnya!
Saya kira lambat-laun tujuan Indonesia
membebaskan Irian Barat itu dimengerti oleh dunia-luaran, – juga oleh
mereka yang dulunya menganggap kita tidak akan becus mengurus Irian
Barat, dan mengatakan bahwa kita ini hanya ekspansionis belaka, atau
irredentis, atau imperialis, atau kolonialis, atau lain-lain sebutan
yang segar-segar, hantam-kromo lidah tak bertulang.
Saudara-saudara tentu masih ingat kenapa
saya yang dulu begitu sabar terhadap Belanda, dalam memperjoangkan
pembebasan Irian Barat itu akhirnya seperti tidak sabar dan melansir
politik Konfrontasi. Konfrontasi di segala
bidang.
Di bidang politik, di bidang ekonomi, ya juga kalau perlu
gempur-gempuran di bidang militer. Sebab-musababnya politik Konfrontasi
itu tak perlu saya ulangi lagi di sini. Masih segar dalam ingatan kita
sikap Belanda bertahun-tahun yang menjengkelkan, yang treiterend, yang
akhirnya memaksa kita menjalankan politik Konfrontasi itu. Dan
Saudara-saudara mengetahui juga, bahwa politik Konfrontasi itu bukan
sekadar politik gertak-sambal. Sehari demi sehari, seminggu demi
seminggu, sebulan demi sebulan, kita pertinggi persiapan dan pelaksanaan
politik konfrontasi itu dengan nyata. Lidah kita menjadi tinju, tinju
kita menjadi palu-godam yang maha-hebat!
Di samping itu, Saudara-saudara ingat saya mengeluarkan juga
uluran-tangan kepada fihak Belanda. Uluran-tangan untuk menyelesaikan sengketa secara damai, dengan jalan menyerahkan
pemerintahan atas Irian Barat kepada kita secara ikhlas, agar selanjutnya hubungan antara Indonesia dan Belanda dapat dinormalisir.
Kataku dalam pidato tahun yang lalu:
“Dengan demikian, maka saya bawalah pemecahan soal Irian Barat ke dalam
taraf baru, dengan membuka segala kemungkinan yang baik bagi kedua
bangsa dan perdamaian dunia. Terbukalah pintu bagi bangsa Belanda di
bawah Oranye Huis, yang bebarapa kali memimpin perjoangan kemerdekaan
Nederland terhadap penjajahan asing, untuk meninggalkan nama yang
terhormat dalam sejarah internasional di masa yang akan datang”.
Inilah yang saya ucapkan satu tahun yang lalu pada 17 Agustus 1961:
politik Konfrontasi disertai dengan uluran-tangan. Palu-godam disertai dengan ajakan bersahabat.
Akan tetapi apakah jawaban Belanda
terhadap politik kita ini? Secara sekonyong-konyong, secara mendadak,
Menteri Luar Negeri Belanda Luns mengajukan resolusi dalam sidang
General Assembly P.B.B. 1961, yang bertujuan memisahkan Irian Barat
secara
permanent dari Republik Indonesia, dengan mendirikan apa
yang ia namakan ”Negara Papua” atas azas “selfdetermination”.
Kekurang-ajaran yang lebih besar daripada kekurang-ajaran Luns ini tidak
ada di lapangan percaturan politik dalam abad sekarang ini! Coba
fikirkan! Tuntutan Republik Indonesia, perjoangan Bangsa Indonesia untuk
membebaskan sebagian tanah-airnya selama
duabelas tahun ini
(sebenarnya lebih), itu semua oleh meneer Luns dianggap sepi samasekali.
Dalam resolusi yang ia usulkan kepada P.B.B. itu, Republik Indonesia
samasekali tidak dibawa dalam pembicaraan, bahkan samasekali tidak
disebut-sebut, seolah-olah tak ada sengketa antara Indonesia dan Belanda
mengenai Irian Barat samasekali. Maka sayapun tidak segan-segan
menamakan perbuatan Luns itu (dihadapan Duta Besar Amerika Tuan Howard
Jones) perbuatannya seorang “evil spirit towards Indonesia”, – yaitu
perbuatannya seorang yang jahat hati terhadap Indonesia! Secara coûte
que coûte, harus!, musti!, ia berhasrat mendirikan “Negara Papua”.
Benderanya sudah mulai dikibarkan, “lagu-kebangsaannya” sudah diciptakan
dan mulai diperdengarkan, calon presidennya, calon perdana menterinya,
calon panglima-besarnya sudah mulai dibisik-bisikkan.
Kita tidak mau biarkan kekurang-ajaran
ini! Menteri Luar Negeri Subandrio saya kirimkan ke sidang P.B.B. di New
York dengan hanya
satu instruksi saja: “Gagalkan usaha Belanda
untuk mendirikan Negara Papua melalui P.B.B.!” Dan Menlu Subandrio masuk
gelanggang pertempuran. Dengan sengit ia berjoang, dan akhirnya usaha
Belanda tadi buat sementara dapat digagalkan.
Dengan sengaja saya berkata “buat sementara”. Sebab Luns berniat untuk
tiap tahun selanjutnya
memajukan resolusi “selfdetermination” bagi Rakyat Irian Barat di muka
sidang P.B.B. Jika “Negara Papua” tak dapat dibentuk, – paling sedikit
tiap tahun Indonesia akan disérét olehnya sebagai terdakwa (beklaagde)
di forum P.B.B. Demikianlah jalan-fikiran Luns. Demikianlah
jalan-fikiran fihak Belanda.
Sekembalinya Menlu Subandrio dari sidang
P.B.B., maka saya beritahukan kepadanya, (yang selanjutnya juga menjadi
keputusan Kabinet), bahwa untuk menanggulangi segala akal-bulus Luns
itu,
politik Konfrontasi harus diperhebat lagi sehebat-hebatnya, –
harus dipuncakkan kepada puncaknya yang terakhir: Irian Barat harus
dibebaskan dari kolonialisme Belanda dalam tahun 1962: Irian Barat harus
dibebaskan dari kolonialisme Belanda sebelum ayam jantan berkokok pada
tanggal 1 Januari 1963! Saya tidak sudi untuk tiap tahun memperdebatkan
soal Irian Barat di P.B.B.!
Maka atas dasar keputusan ini, lahirlah
TRIKORA. Lahirlah Tri Komando Rakyat, yang saya atas nama Rakyat
Indonesia ucapkan di Jogyakarta pada tanggal 19 Desember 1961, hari
peringatan penyerbuan Jogyakarta secara khianat oleh Belanda presis
tigabelas tahun yang lalu.
Gagalkan pembentukan “Negara Papua”!
Kibarkan Sang Merah Putih di mana-mana di Irian Barat!, siap-sedialah
untuk komando mobilisasi-umum! Demikianlah isi Trikora itu. Kecuali itu
Angkatan Perang diperintahkan untuk siap menerima perintah menggempur
kolonialisme Belanda di Irian Barat setiap waktu, membebaskan Irian
Barat dengan jalan kekerasan senjata setiap saat.
Inilah jawaban Bangsa Indonesia terhadap
politik “Negara Papua” dari fihak Belanda itu. Ya, telah berulang-ulang
saya katakan bahwa jawaban ini bukanlah jawaban gertak-sambal. Bukan
demagogi, bukan bahasanya seorang yang main bentak, bukan ketololannya
seorang yang fanatik. Sebab mula-mula oleh fihak Belanda dikirakan
demikian, dan juga oleh beberapa orang Indonesia yang merasa dirinya
maha-bijaksanapun saya ini dikatakan bodoh, dicemooh, diejek,
ditolol-tololkan.
Tetapi dari Rakyat Indonesia yang
berjuta-juta itu, sambutan atas Trikora itu adalah hebat sekali.
Berjuta-juta Sukarelawan, laki, perempuan, tua, muda, dari kota, dari
desa, dari gunung-gunung, mengalirlah untuk mendaftarkan diri, – satu
bukti bahwa Bangsa Indonesia sebagai satu keseluruhan bertekad untuk
membebaskan Irian Barat selekas mungkin,
dengan jalan apapun.
Angkatan Perang kita, baik kesatuan-kesatuannya maupun
pangkalan-pangkalannya telah dapat dibangun dan diperlengkapi dengan
cepat, sehingga jika perlu dalam tahun 1962 ini juga dapat langsung
membebaskan Irian Barat secara penggempuran operasionil.
Dengan dukungan dan lindungan Angkatan
Bersendjata Republik Indonesia, telah kita daratkan lebih kurang 2.000
orang Sukarelawan di daratan lrian Barat.
Dan 2.000 Sukarelawan itu telah
membangun pula berlipat-lipat ganda ribu-ribuan pejoang-pejoang
bersenjata dari pemuda-pemuda di Irian Barat sendiri. Mereka telah
membuat kantong-kantong gerilya dari Utara sampai Selatan Irian Barat,
kantong-kantong gerilya di mana-mana.
Kantong-kantong ini merupakan
daerah-daerah De Fakto Republik Indonesia yang nyata. Administrasi
Belanda menjadi lumpuh, evakuasi warga Belanda secara besar-besaran
telah terjadi, juga ekonominya jadi lumpuh atau kocar-kacir di
daerah-daerah itu.
Dalam beberapa minggu kita dapat mengembangkan Kantong-kantong De Fakto itu
di seluruh daratan Irian Barat, jika diperlukan lagi.
Ini semua dilaksanakan tanpa
menggerakkan induk tenaga dari Angkatan Perang Republik Indonesia. Kita
telah sedia pula dengan pasukan-pasukan lengkap guna membasmi
Westerling-Westerling dan lain-lain bom-waktu yang akan ditinggalkan
oleh Kolonial Belanda di Irian Barat. Dan kita telah sedia dengan
berpuluh-puluh Batalyon untuk menjamin keamanan di seluruh Irian Barat,
sehingga Dunia Internasional tidak usah takut akan timbul sesuatu
suasana seperti di Kongo, kalau kita mengoper administrasi di Irian
Barat.
Seluruh rakyat harus menunjukkan setia
kawannya kepada Gerilyawan-gerilyawan kita yang perwira-perwira itu,
yang berjoang mati-matian di Irian Barat, dan saja ucapkan terimakasih
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada mereka yang telah gugur
dalam menunaikan Tugas Suci guna melaksanakan Tri Komando Rakyat.
Ya! Nyata apa tidak. Trikora bukan
gertak-sambal. Trikora bukan pula politiknya Sukarno yang tolol atau
majnun. Trikora adalah konsekwensi logis daripada politik Konfrontasi.
Trikora adalah manifestasi daripada
Volkswil Indonesia
(manifestasinya tekad-kemauan Rakyat Indonesia) untuk mengusir
imperialisme dari Irian Barat selekas mungkin, manifestasi daripada
Offerbereidheid Indonesia (kesediaan berkorban) untuk mati-matian
menjalankan perjoangan pengusiran itu. Trikora disambut secara
hebat-maha-hebat oleh Rakyat Indonesia, oleh karena Trikora adalah
politik yang benar. Yang tolol adalah orang-orang Indonesia beberapa
gelintir itu, yang mengejek-ejek Trikora, dan menyebutkan kita orang
yang tolol!
Datanglah dalam suasana memuncaknya politik Konfrontasi itu dalam bulan Maret apa yang dinamakan “Rencana Bunker”.
Makna Rencana Bunker adalah empat:
Satu : Pemerintahan atas Irian Barat harus diserahkan kepada Republik Indonesia.
Dua : Sesudah sekian tahun di
bawah Pemerintahan Republik, maka Rakyat Irian Barat diberi kesempatan
untuk menentukan sendiri secara bebas nasibnya selanjutnya, – tetap terus di dalam Republik Indonesia? atau memisahkan diri dari Republik Indonesia-kah?
Tiga : Pelaksanaan penyerahan Pemerintahan di Irian Barat akan selesai dalam waktu dua tahun.
Empat: Untuk menghindari bahwa
kekuatan-kekuatan Indonesia langsung berhadap-hadapan dengan
kekuatan-kekuatan Belanda, diadakanlah waktu-peralihan di bawah
kekuasaan P.B.B. Waktu peralihan P.B.B. ini akan berlaku satu tahun
lamanya, diperlukan untuk memulangkan seluruh Angkatan Perang Belanda
dan seluruh pegawai Belanda dari Irian Barat ke Nederland.
Demikianlah pokok-pokok-isi Rencana Bunker. Kita segera memberikan reaksi terhadap Rencana itu: Kita
terima
prinsip-prinsip dari Rencana Bunker itu. Yaitu: penyerahan pemerintahan
di Irian Barat kepada Republik, dan hak selfdetermination kepada Rakyat
Irian Barat sesudah sekian tahun di dalam Republik, Perhatikan: kita
terima
prinsip-prinsip.
Hanya prinsip-prinsip! Kita tidak terima rencana panjangnya waktu yang diusulkan oleh Bunker. Soal waktu dapat nanti diperjoangkan dalam perundingan.
Tampak sekali fihak Belanda dalam hal
menerima Rencana Bunker itu amat ogah-ogahan. Beberapa minggu telah
berlalu, beberapa bulan telah berlampau, fihak Belanda masih saja tidak
memberikan jawaban yang tegas. Baru pada permulaan bulan
Juli
(bulan yang lalu) fihak Belanda mulai berkutik mengeluarkan suaranya,
dan sementara itu sudah barang tentu Trikora telah berjalan terus:
Kantong-kantong gerilya di Irian Barat telah menjalar ke mana-mana. Di
Sansapor, di Sorong, di Klamono, di Taminabuan, di Fakfak, di Kaimana,
di Merauke, di semua tempat-tempat itu Gerilyawan-gerilyawan kita telah
menjejakkan kakinya dan menanamkan kakinya teguh-teguh. Dan telah
digerakkan pula Tri Komando Rakyat oleh Rakyat di sekitar Manokwari,
Serui, Kotabaru, dan lain-lain. Pendek-kata daerah-daerah De Fakto kita
telah tersebar di Irian Barat di mana-mana.
Saudara-saudara!
Oleh karena Pemerintah Belanda menyatakan menerima prinsip-prinsip Bunker
sesudah Trikora menerjunkan beberapa ribu paratroop di daratan Irian Barat, dan
sesudah Trikora membangunkan kantong-kantong gerilya di mana-mana, maka sudah barang tentu suasana pembicaraan Rencana Bunker itu
sekarang agak berlainan daripada suasana ketika Rencana Bunker baru dilahirkan, yaitu pada bulan Maret.
Sebagai tindakan pertama dari penerimaan Rencana Bunker oleh Belanda, maka saya mengutus Saudara
Adam Malik ke Washington dengan tugas minta keterangan dari wakil Belanda, apakah penerimaan Rencana Bunker oleh mereka itu mengandung
pengertian yang sama dengan pengertian kita? Pengertian yang sama ini perlu
disiarkan di muka umum, agar kelak dapat dihindarkan kesalahfahaman antara Indonesia dan Belanda.
Sesudah Indonesia dan Belanda mempunyai
pengertian yang sama mengenai prinsip Rencana Bunker, – yaitu lebih dulu
penyerahan Pemerintahan di Irian Barat kepada Indonesia, dan baru
kemudian daripada itu yang dinamakan selfdetermination kepada Rakyat
Irian Barat, – maka saya mengutus Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio,
didampingi oleh Jenderal Hidayat, pergi ke Washington, untuk “menjajagi”
isi-hati yang sebenarnya dari fihak Belanda, dan Saudara Subandrio saya
beri kuasa-penuh untuk mengambil segala kebijaksanaan agar prinsip
Rencana Bunker merealisir pengembalian Irian Barat ke dalam kekuasann
Republik terlaksana
sesuai dengan tuntutan Rakyat Indonesia dalam taraf perjoangan sekarang ini.
(In accordance with the wish of the Indonesian people in the present situation).
Lebih dari seminggu Saudara Subandrio
dan Saudara Hidayat bekerja mati-matian di Washington. Lebih dari
seminggu mereka bertempur. Akhirnya mereka pulang. Dan yang mereka bawa
ialah “pengertian bersama sementara” antara Indonesia dan Belanda (“
preliminary understanding”), dan satu ”aide
memoire” yang tertulis dan ditandatangani oleh Pd. Sekjen P.B.B. U THANT, tertanggal 31 Juli 1962.
Pada umumnya, Preliminary Understanding dan Aide Memoire U Thant itu mengandung 7 pokok sebagai berikut:
- Sesudah ratifikasi oleh Indonesia,
Belanda, dan P.B.B., maka selambat-lambatnya 1 Oktober 1962 Penguasa
P.B.B. akan tiba di Irian Barat untuk mengoper Pemerintahan dari tangan
Belanda.
Pada waktu itu juga, kekuasaan Belanda di Irian Barat berakhir, bendera Belanda turun, bendera P.B.B. menggantinya.
- Mulai saat itu, Penguasa P.B.B. akan
memakai tenaga-tenaga Republik Indonesia (baik sipil maupun alat-alat
keamanan), bersama dengan alat-alat yang sudah ada di Irian Barat yang
terdiri dari putera-putera Irian Barat, dan sisa-sisa dari pegawai
Belanda.
- Paratroop-paratroop kita tetap
tinggal di Irian Barat, di bawah kekuasaan administrasi P.B.B. (“at the
disposal of the United Nations’ Administration”).
- Angkatan Perang Belanda mulai saat itu juga berangsur dipulangkan ke negeri Belanda. Yang belum pulang, akan ditaroh dalam pengawasan P.B.B., dan tidak boleh dipakai untuk operasi-operasi militer.
- Antara Irian Barat dan daerah Republik Indonesia lainnya, adalah lalu-lintas bebas.
- Tanggal 1 Januari 1963, atau 31 Desember 1962, bendera Sang Merah Putih secara resmi akan dikibarkan di samping bendera P.B.B.
- Pemulangan Angkatan Perang
Belanda dan pegawai Belanda harus selesai pada tanggal 1 Mei 1963, dan
sebentar sesudah itu Pemerintah Republik Indonesia secara resmi mengoper
Pemerintahan di Irian Barat, dari tangan P.B.B. ke tangan kita.
Demikianlah 7 pokok Preliminary Understanding dan Aide Memoire U Thant.
Pada tanggal 9 yang lalu saya kirim
Menteri Luar Negeri Subandrio dan Jenderal Hidayat ke Washington lagi
untuk mengadakan perundingan formil dengan Belanda. Lagi beberapa hari
mereka berjoang dengan gigih dengan backing mutlak dari kami dan seluruh
Rakyat Indonesia, dan sekarang (hari ini) perundingan formil itu telah
selesai, dan saya pada saat ini dapat memberitahukan kepada
Saudara-saudara, bahwa hasil perundingan formil itu telah
ditandatangani.
Dan pokoknya ialah:
- a. Kolonialisme Belanda
di Irian Barat secara formil gulung tikar pada 1 Oktober 1962. Bendera
Belanda pada hari itu secara resmi turun dari angkasa Irian Barat.
- b. Kita mulai masuk secara berangsur-angsur di Irian Barat pada saat itu juga.
- c. Berhubung dengan
waktu yang dibutuhkan untuk memulangkan secara teratur semua tenaga
Belanda ke Nederland, maka pemerintahan Republik Indonesia secara
keseluruhan masuknya di Irian Barat ialah pada sekitar 1 Mei 1963.
Meskipun demikian, bendera Republik Indonesia sudah berkibar di Irian
Barat secara resmi pada tanggal 31 Desember 1962, yaitu sebelum ayam
jantan berkokok pada tanggal 1 Januari 1963.
Terimalah, Saudara-saudara, hasil ini dengan rasa terimakasih kepada Tuhan!.
Nah, sekarang satu soal yang perlu saya terangkan kepada Saudara-saudara.
Dan bagaimana tentang hal
selfdetermination bagi Rakyat Irian Barat? Kita menyetujui diadakan
pemungutan suara selfdetermination itu pada tahun 1969. Dus 6-7 tahun
sesudah Irian Barat dalam pemerintahan Republik. Dus selfdetermination
ini adalah apa yang kita namakan ”internal selfdetermination”,
selfdetermination antara kita dengan kita sendiri, dan bukan “external
selfdetermination” yang kita tolak. Dalam tahun 1969 itu Rakyat Irian
Barat boleh menentukan secara bebas: tetap di dalam Republik?, keluar
dari Republik? atau bagaimana?
Tentu bagi sebagian dari Saudara-saudara
ada yang bertanya: Kenapa Presiden dan Pemerintah menerima-baik hal
selfdetermination bagi Rakyat Irian Barat itu, padahal Rakyat Irian
Barat adalah sebagian dari tanah-air Indonesia juga, dan Irian Barat
sendiri adalah sebagian dari tanah-air Indonesia, dan Irian Barat sejak
Proklamasi 17 Agustus 1945 de jure adalah sebagian dari Republik
Indonesia, yang wilayahnya dari Sabang sampai Merauke?
Ya, Saudara-saudara, saya tidak
menyangkal kebenaran daripada fikiran yang demikian itu. Malahan saya
menyokong kebenaran pendirian tersebut, oleh karena pendirian itu adalah
juga pendirian saya dan pendirian Pemerintah.
Justru oleh karena itulah kita
mutlak menuntut masuknya Irian Barat dalam Pemerintahan Republik, –
mutlak!,
dan tidak boleh ditawar sekuku hitampun. Tuntutan ini dipenuhi oleh
bagian pertama dari Rencana Bunker, dan oleh persetujuan formil yang
barusan kita capai.
Maka sesudah Irian Barat masuk ke dalam
kekuasaan Republik, artinya: sesudah Proklamasi 17 Agustus 1945 in
realitas terlaksana secara lengkap dari Sabang sampai Merauke, maka kita
bersedia untuk menunjukkan
sikap bijaksana. Sikap bijaksana yang
sesuai dengan keadaan dan pertumbuhan di Irian Barat sendiri, yang
selama 12 tahun terpisah dari kita, selama 12 tahun terus saja dijajah
oleh Belanda, selama 12 tahun disuguhi garam bikinan Belanda.
Saya yakin, bahwa meskipun penjajahan
Belanda merajalela di Irian Barat itu 12 tahun lamanya, toh masih banyak
di sana itu patriot-patriot Indonesia yang tak mau luntur,
pencinta-pencinta kemerdekaan yang tetap setia kepada Proklamasi,
pencinta-pencinta kemerdekaan yang tetap setia kepada Kemerdekaan
Nasional dari Sabang sampai Merauke. Meskipun Rakyat di Irian Barat itu
duabelas tahun lamanya tiap hari tiap malam dicekoki dengan propaganda
Belanda, tiap hari tiap malam disuruh menguntal fitnahan-fitnahan
terhadap kepada Republik Indonesia, maka toh tidak kurang-kurang patriot
Irian Barat yang tetap patriot. Sebagian besar dari patriot-patriot itu
meringkuk dalam penjara, sebagian besar hidup sebagai buruan yang
sengsara, diuber, ditangkap, disiksa, – tetapi bagaimanapun sengitnya
penindasan atas mereka itu,
selfdetermination ’45 masih tetap hidup menyala-nyala dalam kalbu mereka itu.
Oh ya tentu, di samping itu tentu
Belanda berhasil memparadirkan boneka-boneka serta para pengikutnya,
yang secara sistematis dididik oleh Belanda untuk membenci dan
mencemoohkan Republik. Di mana ada perjoangan kemerdekaan tanpa bertemu
dengan boneka-boneka? Di Cuba? Tidak! Di Aljazair? Tidak! Di Vietnam?
Tidak! Di Guinee? Tidak! Di Indonesia sendiri dulu? Tidak! Malah di
Indonesia dulu itu boneka-boneka itu, saking banyaknya, tak dapat kita
hitung jumlahnya dengan jari dua tangan kita! Pasar imperialis penuh
dengan boneka-boneka itu, dan engkau bisa beli mereka dengan harga
setalen sepotong!
“Ze waren bij bosjes op de imperialistische passer te koop, en je kunt ze kopen voor een kwartje per stuk!”
Ya, di mana ada perjoangan Kemerdekaan
yang tidak menjumpai boneka? Tetapi juga, di mana ada kaum boneka yang
dapat bertahan lama? Semua sejarah perjoangan Kemerdekaan bangsa-bangsa
menunjukkan, bahwa akhirnya kemerdekaan toch dapat direbut oleh
patriot-patriot kemerdekaan. Akhirnya patriot-patriot inilah yang
menang! Akhirnya boneka-boneka itulah yang disapu-bersih oleh
perjoangan, atau ditendang masuk ke dalam timbunan sampahnya sejarah!
Di antara dua golongan di Irian Barat
ini, di antara patriot dan boneka, terdapatlah golongan ke tiga yang
sebagian besar terdiri dari pemuda dan pemudi. Mereka adalah amat
penting, karena mereka, generasi muda itu, adalah bibit-bibit pemimpin
daerah atau bibit-bibit pemimpin Nasional. Pada umumya mereka anti
kolonialisme. Tetapi mereka tak bisa, atas kesadaran dan keyakinan
sendiri menjadi pro Republik. Apa sebab? Mereka tidak mengenal Republik.
Mereka memang dipisahkan oleh Belanda dari Republik. Mereka tak dapat
mengikuti dari dekat tujuan dan cita-cita Republik. Mereka mengenal
Republik hanya “van horen zegen”, en nog wel – van Hollands horen
zeggen! Tatkala kita di sini memproklamirkan Republik, tatkala kita di
sini menumpahkan kita punya darah untuk mempertahankan Republik, mereka
baru lahir, atau baru anak-anak kecil. Tatkala kita di sini mulai
membangun dan sekali lagi membangun mereka belum mencapai usia
akil-balig.
Dan meskipun mereka sekarang tidak mudah diracuni oleh propaganda Belanda yang bersifat 100% anti-Republik, dan
dag in dag uit menjelekkan dan menghina Republik, namun sebaliknya mereka ingin menilai dengan
mata kepala sendiri
apakah Republik itu, baik dalam tujuan maupun dalam isi. Para pemuda
dan pemudi Irian Barat itu pada instinctnya ingin merupakan bagian
daripada Republik, bahkan ingin merupakan bagian daripada Revolusi, akan
tetapi mereka ingin mengambil keputusan ini (atau lain keputusan) atas
dasar
kesadaran sendiri dan
kayakinan sendiri, dan tidak oleh bisikan atau desakan dari siapapun juga atau golongan manapun juga.
Saya kira, kita harus menghargai
pendirian mereka itu. Biar mereka melihat sendiri apa Republik itu, apa
tujuan Republik, apa isi Republik! Sekali mereka melihat dan mengenal
Republik, kita yakin, pasti merekapun akan menjadi patriot Indonesia
yang cinta kepada Republik. Dan – patriot karena keyakinan, bukan
patriot buat-buatan!
Dugaan saya ini dibenarkan oleh
kenyataan. Beberapa waktu belakangan ini, beberapa putera Irian Barat
telah mengunjungi Republik dari Nederland. Kedatangan mereka itu
samasekali tidak dengan semangat pro Republik. Malah ada yang condong
kepada kurang-suka kepada Republik. Mereka hanya mau melihat. Mereka
hanya mau meninjau. Beberapa hari mereka melihat sana-sini, meninjau
sana-sini. Dan apa yang terjadi?
Tanpa pengecualian mereka semua menjadi pro Republik! Malah ada yang minta diterjunkan di Irian Barat, untuk ikut menggempur kolonialis Belanda di Irian Barat!
Pengalaman tentang beberapa putera Irian
Barat ini kita ”seluruhkan” kepada seluruh penduduk di Irian Barat.
Secara keseluruhan kita masukkan mereka dalam kekuasaan Republik, sesuai
dengan Proklamasi 17 Agustus 1945, untuk memberi kesempatan kepada
mereka mengenal dan mencamkan hasil-hasil perjoangan Republik. Sesudah
itu, tahun 1969 kita akan berkata kepada mereka: “silahkan,
Saudara-saudara, silahkan! Tuan-tuan boleh memilih!” Dan kita yakin,
mereka akan memilih tinggal dalam Republik!
Maka atas dasar pertimbangan inilah, kita menerima juga prinsip kedua dari Rencana Bunker, yaitu selfdetermination.
Nah, Saudara-saudara sebangsa! Sungguh
keramat angka 17 dalam kehidupan Republik kita ini! Kita sekarang genap
berusia 17 tahun, dan pada genap berusianya Republik 17 tahun itu, pada
hari ini, dengan menundukkan kepala kepada Tuhan, saya dapat
memberitahukan dengan resmi kepada Saudara-saudara:
nanti, pada tanggal 1 Oktober tahun ini, habislah riwayat penjajahan Belanda di Irian Barat.
Nanti, pada tanggal 1 Oktober tahun
ini, tidak ada lagilah bendera Belanda yang berkibar sebagai penguasa di
seluruh tanah-air kita dari Sabang sampai Merauke.
Nanti, pada tanggal 1 Oktober tahun ini, lengkaplah dalam prinsipe wilayah Negara Kesatuan Indonesia, yaitu Republik Proklamasi.
Hati kita penuh dengan rasa
bercampur-bawur. Segala macam rasa, berputarlah dalam hati kita sekarang
ini. Rasa syukur kepada Tuhan. Rasa gembira. Rasa pilu karena
mengenangkan deritaan-deritaan yang lampau. Rasa getam karena
mengenangkan korbanan-korbanan di persada perjoangan. Rasa kagum karena
mengingat keberanian pahlawan-pahlawan kita yang diterjunkan di
rimba-rimba dan rawa-rawa. Rasa terimakasih kepada patriot-patriot
Indonesia yang mendahului kita berpuluh puluh tahun yang lalu,
pendekar-pendekar daripada Gerakan Nasional. Rasa hormat kepada Pak
Marhaen dan mBok Marhaeni, yang dulu dalam physical Revolution
membumihanguskan rumahnya sendiri. Rasa marah karena ingat kepada
pemuda-pemuda kita yang dalam physical Revolution itu ditendangi oleh
serdadu Belanda atau didrél atau digantung. Rasa khidmat, karena
merenungkan Karsanya Sejarah, bahwa “jer basuki mawa beya” …Dan ada satu
rasa lagi. Yaitu rasa
harapan. Harapan, bahwa ini kali fihak
Belanda sungguh-sungguh secara jujur melaksanakan persetujuan yang baru
dicapai itu. Jangan seperti Linggajati, jangan seperti Renville. Kita
sudah berabad-abad bersengketa dengan Belanda, sudah berabad-abad hidup
“op gespannen voet” dengan fihak Belanda, dan secara Negara dengan
Negara sudah pula 17 tahun lamanya bersengketa dengan segala macam
pengorbanan jiwa dan pengorbanan harta dari kedua belah fihak. Rasa
pertanggunganjawab dari Rakyat kita masing-masing, Rakyat Indonesia dan
Rakyat Belanda, meminta kebijaksanaan setinggi-tingginya dari para
pemimpin kedua belah fihak. Kami dari fihak Indonesia, kami tidak ada
maksud lain kecuali
tidak mau dijajah, tidak mau dikungkung,
tidak mau dieksploitir. Kami tidak ada maksud lain kecuali mau hidup
merdeka dan mau dibiarkan hidup merdeka, merdeka dari penjajahan,
merdeka untuk menyusun Negara dan masyarakat kami sendiri menurut
kehendak kami sendiri. Kami cinta damai, kami ingin hidup bersahabat
dengan segala bangsa, tetapi kalau kemerdekaan kami diganggu atau kalau
kami dijajah, maka kami akan melawan, kami akan menghantam, kami akan
tidak takut mati, kami akan bertempur sampai tétés darah yang
penghabisan!
Itulah sebabnya kami pada saat tercapainya persetujuan Indonesia-Belanda sekarang ini
masih
melahirkan harapan tadi: Harapan bahwa ini kali fihak Belanda
sungguh-sungguh melaksanakan persetujuan itu secara jujur, dan tidak
secara Linggajati atau secara Renville,
agar supaya hubungan lndonesia-Belanda kelak berlangsung secara baik.
Maka sementara itu kami dari fihak
Indonesia terpaksa tetap waspada, tetap dalam posisi perjoangan, tetap
dalam “stelling”, tetap dalam Trikora, tetap sampai ada
kenyataan-kenyataan yang nyata, bahwa ini kali persetujuan
Indonesia-Belanda itu benar-benar dilaksanakan secara jujur, dan tidak a
la Renville dan Linggajati. Jika sengketa ini dapat diselesaikan secara
memuaskan bagi kami dan secara terhormat bagi Belanda, maka saya
nyatakan di sini,
bahwa uluran-tangan saya tahun yang lalu tetap berlaku. Memang
adalah menjadi dasar penghidupan Nasional Bangsa Indonesia, bahwa kami
secara aktif mencari persahabatan dengan setiap bangsa, jika dari fihak
mereka itu ada keinginan jujur ke arah itu. Memang inilah termaktub
dalam Kerangka nomor tiga daripada Revolusi Indonesia itu, yaitu
Kerangka persahabatan dari semua bangsa.
Maka kepada Bangsa Indonesia sendiri
saya berseru supaya selanjutnya kita tidak usah merasa sombong terhadap
Belanda, tidak usah bersikap congkak karena merasa menang. Pelajaran
yang saya sendiri sejak pemuda peroleh dari almarhumah Ibu saya ialah:
”Uletlah dalam kekalahan, tetapi berbudilah dalam kemenangan”. Saya kira
pelajaran yang saya terima dari Ibu ini, berlaku pula bagi kita-semua
dalam menghadapi penyelesaian sengketa antara Indonesia dan Belanda.
Kecuali itu, kemenangan yang kita capai
ini, bukan ”Kemenangan pribadi” dari seseorang semata-mata. Jangan
dicongkak-congkakkan! Kemenangan ini adalah
Kemenangan Sejarah.
Tiap
perjoangan menentang kolonialisme akhirnya akan dimenangkan oleh fihak
pejoang kemerdekaan, oleh karena jalannya Sejarah menghendaki kemenangan
fihak kemerdekaan itu.
Tiap perjoangan mempertahan-kan
kolonialisme akan kalah, oleh karena jalannya Sejarah menghendaki
kalahnya kolonialisme itu. Kita telah berbuat sesuai dengan jalannya
Sejarah, dan oleh karena itulah kita menang. Belanda berbuat menentang
jalannya Sejarah, dan oleh karena itulah mereka kalah. Karena itu,
jangan kemenangan kita ini terlalu dicongkak-congkakkan!
Kecuali itu, menengadahkanlah muka kita-semua kepada Tuhan. Kemenangan ini adalah
Karunia Tuhan.
Pemberian Tuhan! Belas-kasihnya Tuhan! Dialah yang membuat. Dialah yang
membuat. Dialah yang memberi. Karena itu janganlah mencongkakkan diri.
Saudara-saudara, kini dua acara dari Triprogram Pemerintah telah terlaksana:
Keamanan dan
Irian Barat.
Di bawah ridlonya Allah subhanahu wa ta’ala, di bawah rakhmatnya Tuhan
yang Maha Adil, maka acara Keamanan dan acara Irian Barat dapat pada
waktunya terlaksana berkat keuletan-hati dan tekad kesatuan Bangsa
Indonesia. Keuletan-hati yang tali-baja, dan tekad-kesatuan yang laksana
gunung-batu itu, sebagai tadi kukatakan, hanyalah mungkin diwujudkan
jika kita mempunyai Landasan bersama yang hidup mewahyui kita sebagai
suatu kenyataan yang hidup, suatu
living reality, – suatu
Landasan yang benar-benar menghikmati seluruh fasét kehidupan Bangsa,
baik ideologis, maupun Landasan yang benar-benar
Nasional dalam
arti yang seluas-luasnya. Dan landasan yang begitu itulah Landasan
RESOPIM. Dengan Landasan RESOPIM itu kita dalam waktu yang telah
ditetapkan dapat menyelesaikan persoalan-berat Keamanan dan
persoalan-berat Irian Barat. Dengan Landasan RESOPIM itu kita dapat
mencapai tahun 1962 ini sebagai satu Tahun Kemenangan. Lihat! Berapa
umur Manipol-USDEK? Berapa umur RESOPIM? Sudah panjangkah umur
Manipol-USDEK-RESOPIM itu? Manipol-USDEK baru berumur
tiga tahun! RESOPIM baru berumur
satu tahun!
En toch kita dengan Landasan Manipol-USDEK dan RESOPIM itu telah
mencapai hasil yang gilang-gemilang! Satu tanda apa? Tanda bahwa
Manipol-USDEK-RESOPIM adalah Landasan yang Sakti! Karena itu, hayo
berjalan terus!, – biar anjing menggonggong, hayo berjalan terus! – di
atas Landasan Manipol-USDEK dan RESOPIM. Melihat hasil-hasil dari
perjoangan kita dalam waktu belakangan ini, – juga di lapangan
pembangunan -, sebenarnya, – siapa yang masih ingin terus bersikap
pesimistis atau sinis, kecuali tentu musuh dari Revolusi, golongan
gadungan atau golongan Kontra-revolusioner, yang selalu hanya pandai
mengeritik saja atas dasar textbook-thinking, atau golongan yang selalu
hanya memakai Republik untuk mengejar keuntungan diri sendiri atau
golongannya sendiri, atau golongan yang memang anti Republik karena
Republik adalah Republik Kemerdekaan dan Republik Kerakyatan? Maaf
jikalau saya berkata, bahwa, mereka selalu melarikan diri dari
kesulitan-kesulitan yang harus dihadapi oleh Republik, –
kesulitan-kesulitan yang memang selalu inhaerent pada tiap-tiap
Revolusi. Mereka belum pernah dapat membanggakan diri menyumbangkan
tenaga atau fikiran atau pengorbanan, dalam saat-saat Republik dan
Revolusi dalam kesulitan atau diancam oleh bahaya.
Tidak, mereka lari, mereka mencari
hidup-enak di luar Revolusi atau di luar Republik, dan dari sana itulah
mereka lancarkan mereka punya kritik, kadang-kadang ancaman, bahkan juga
tindakan-tindakan subversif terhadap diri saya dan dirinya orang-orang
yang tetap menjalankan tugasnya dalam Republik dan dalam Revolusi.
Mereka di luar negeri itu tak segan-segan untuk menceriterakan segala
kekurangan-kekurangan kita kepada fihak asing, segala
kekurangan-kekurangan Republik seolah-olah golongan asing itulah yang
akan menentukan siapa yang harus memimpin Bangsa Indonesia dan Negara
Indonesia. Mereka bersikap seolah-olah merekalah yang lebih tahu segala
hal, seolah-olah merekalah yang akan dapat “menyelamatkan Indonesia”.
“Segala sesuatu akan lebih baik”, katanya, asal saja merekalah yang
memegang tampuk-pimpinan, asal saja merekalah yang memegang kemudi.
Padahal, orang-orang yang sedemikian rupa itu, belum pernah, khususnya
sesudah 1950, menunjukkan kebesarannya dalam sesuatu hal, kecuali –
kebesaran dalam mengeritik. Rakyat-jelata belum pernah menikmati
kebesaran mereka, baik dalam aksi maupun dalam konsepsi. Yang selalu
mereka dengung-dengungkan ialah hanya zg. ”penyelesaian
mas’alah-mas’alah” menurut
afgezaagde en conventionele formules, afgezaagde
en conventionele formules yang mereka ambil dari textbook-textbooknya
dunia Barat, – afgezaagde en conventionele formules yang saya sudah
kenal dari zamannya saya masih plonco ijo royo-royo!
Padahal, Revolusi adalah pembongkaran barang tua diganti dengan barang baru, kataku tadi. Revolution
rejects yesterday! Revolusi
harus melempar jauh-jauh, bahkan menghantam hanyur-lebur,
fikiran-fikiran kuno, dan harus menegakkan, menggembléngkan,
mengkobar-kobarkan fikiran-fikiran baru, cara-cara baru,
konsepsi-konsepsi baru, cipta-cipta baru, landasan-landasan baru,
tindakan-tindakan baru, pencatut-taliwandaan baru.
Padahal, Revolusi adalah
“a do-it-yourself-outfit”, Revolusi adalah suatu hal yang harus dijalankan dengan aksimu dan idemu
sendiri,
– tak dapat Revolusi itu dijalankan dengan mempergunakan
textbook-textbooknya orang lain, apalagi textbooknya orang-orang yang
tidak revolusioner, apalagi textbook-textbook yang kontra-revolusioner!
Saya dengan sengaja menguraikan persoalan ini agak panjang, – maaf!
Kataku -, oleh karena di waktu-waktu
belakangan ini saya lihat menggiatnya sesuatu aksi subversif. Ada yang
ditujukan kepada diri saya pribadi, – saya pernah digranat,
dimitrailjir, ditembak pistul, pendek kata hendak dibunuh -, ada yang
diarahkan kepada kawan-kawan patriot lain, ada yang dibidikkan kepada
Republik an sich, Pemerintah dalam hal ini tidak hanya akan lebih
waspada, akan tetapi malahan ada kalanya telah mengambil
initiatif bertindak,
sebelum aksi subversif itu dapat menjalankan rolnya yang lebih besar.
Ya, apa boleh buat! ”A Revolution is not a very polite thing”, –
“Revolusi bukanlah suatu hal yang amat ramah-tamah”, – Revolusi adalah
Revolusi! Saya sudah pernah berkata dua tahun yang lalu: Revolusi terpaksa mengenal
garis-pemisah. Garis-pemisah antara
kawan dan
lawan.
Garis-pemisah antara kawan-Revolusi dan lawan-Revolusi. Kawan-Revolusi
harus kita pupuk, lawan Revolusi harus kita hantam, kita gempur, kalau
perlu kita binasakan samasekali. Kalau tidak, Revolusi sendiri akan
binasa!
Saudara-saudara! Dengan selesainya soal
keamanan, dengan selesainya soal Irian Barat, maka modal kita untuk
memecahkan soal ekonomi akan sangat bertambah. Dulu pernah saya katakan,
bahwa untuk menyelesaikan tugas keamanan saja, 50% dari seluruh
kegiatan Nasional kita curahkan kepada itu, dan kemudian, ditambah
dengan tugas TRIKORA, jumlah ini menjadi lebih besar lagi! Hampir-hampir
¾ dari kegiatan Nasional kita, kita pergunakan untuk menyelesaikan
keamanan dan menjalankan Trikora itu. Jelasnya lebih dari 70% dari
kegiatan Nasional kita, kita tumplekkan ke arah itu! Perhatikan sekali
lagi:
Lebih dari 70% !! Mengertikah
Saudara-saudara, bahwa inilah salah satu sebab yang terbesar yang
membawa kesulitan dalam kehidupan ekonomi? Mengertikah Saudara-saudara,
bahwa dengan ditumplekkannya lebih daripada 70% Kegiatan Nasional itu,
program
”Sandang-Pangan” belum samasekali terlaksana dengan cara yang memuaskan?
Saya dapat mengikuti
penderitaan-penderitaan di sana-sini dan saya menundukkan kepala saya di
hadapan penderitaan-penderitaan itu, sambil berkata: silahkan, silahkan
marahi saya, silahkan menunjukkan jari kepada saya, silahkan hujankan
kebérangan Saudara kepada saya, – dan saya akan terima semua itu dengan
hati yang tenang. Hanya saya mau menerangkan di sini, bahwa
memang benar saya telah memberikan prioritas kepada penyelesaian soal keamanan dan soal Irian Barat,
meskipun saya
tahu, bahwa untuknya hampir ¾ daripada kegiatan Nasional harus
dispendir. Benarkah politik saya yang demikian itu? Atau salahkah
tindakan saya yang demikian itu? Sejarah akan menjatuhkan putusannya
yang terakhir. Keamanan harus, harus sekali lagi harus dipulihkan dalam
tahun ini, dan tidak boleh tunggu sampai tahun datang, – dan Irian Barat
harus pula, harus, harus, tigakali
harus, dimasukkan kekuasaan
Republik tahun ini, sebelum ayam jantan berkokok 1 Januari 1963, kalau
kita tidak menghendari Irian Barat itu masih berlarut-larut lagi
dipermainkan orang dengan jalan akal-bulus “Negara Papua” atau dengan
jalan lain-lain. Menurut strategi-waktu, maka 1962 adalah tahun tepat
untuk memberi “genadeslag” kepada gerombolan pemberontak, dan Rakyatpun
tak dapat menderita gangguan keamanan lebih lama lagi, dan menurut
strategi-waktu pula berhubung dengan situasi internasional maka 1962
adalah waktu yang tepat pula untuk memberikan “genadeslag” kepada
imperialisme Belanda di Irian Barat. Artinya: tahun 1962 adalah tahun
yang obyektif menentukan bagi kita (beslissend, decisive) dalam hal
menghantam hancur-lebur sisa-sisa terakhir dari kaum pemberontak, dan
menghantam hancur-lebur imperialisme Belanda di Irian Barat. Tahun lain,
kesempatan lain, tidak segera akan
datang lagi! Sama dengan
misalnya: Agustus 1945, segera sesudah peperangan dunia yang ke-II
berakhir, adalah saat yang menurut strategi-waktu, obyektif satu-satunya
saat, untuk mengadakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Pada tahun
1929 saya sudah berkata: “pada akhir peperangan dunia yang akan datang,
pada akhir peperangan Pasific, pada waktu itulah Indonesia akan
merdeka!” Dan karena ucapan saya ini, saya oleh Belanda dijebloskan
bertahun-tahun ke dalam penjara!
Nah, demikianlah duduknya perkara:
Keamanan dan Irian Barat tidak bisa tunggu satu hari lebih lama lagi,
sedangkan soal Sandang-Pangan bisa kita pecahkan sambil berjalan, dan –
nanti lebih mudah, karena modal yang tadinya kita perguna-kan untuk
memulihkan keamanan dan mengembalikan Irian Barat itu, dapat
dipergunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan ekonomi. Kecuali
daripada itu, keadaan Sandang-Pangan toh masih boleh dikatakan lumayan,
mengingat bahwa kita melemparkan hampir ¾ dari kegiatan Nasional ke arah
Keamanan dan Irian Barat itu?, mengingat bahwa kita ini
setengah-setengah dalam keadaan perang?, mengingat bahwa
pembangunan-pembangunan vital yang menelan ongkos milyar-milyaran
berjalan terus?, mengingat bahwa kita tahun yang lalu dihamuk oleh
kemarau yang mahahebat, ditambah dengan hama baru yang bernama ganjur?
Adakah orang Indonesia yang mati kelaparan? Adakah orang Indonesia yang
telanjang tidak berpakaian? Sebaliknya, adakah orang Indonesia sekarang
ini, yang, melihat sukses-sukses kita di lapangan politik dan di
lapangan pembangunan segala macam,
tidak bangga bahwa ia orang Indonesia?
Tidak bangga bahwa Republik ini adalah Republiknya? Tidak bangga bahwa,
kendati masih ada kekurangan-kekurangan, ia adalah anggauta daripada
Satu Bangsa yang bukan lagi bangsa cemoohan dunia, tetapi satu Bangsa
yang dihormati dan dikagumi orang? Dan lebih lagi daripada itu: bahwa ia
adalah anggauta dari satu Bangsa yang
tidak mandek, tetapi satu Bangsa yang
berjalan,
– ya, berjalan! -, berjalan pesat kearah pem-bentukan satu Negara yang
besar dan utuh dan kuat dari Sabang sampai Merauke, berjalan pesat ke
arah satu kehidupan yang mulia, yang dihormati orang, yang adil, yang
makmur, yang menjadi mercu-suar bagi orang lain, yang tiada exploitation
de l’homme par l’homme, yang pesat menjadi salah satu pendekar daripada
new emerging forces, – satu bangsa yang
berjalan ke arah realisasi daripada sosialisme berdasarkan Kepribadian Nasional!
Mengingat semua ini, mengingat bahwa
hingga kini kita masih dapat mempertahankan kehidupan nasional di
lapangan ekonomi, meskipun 75% dari kegiatan nasional dilemparkan kepada
keamanan dan Irian Barat, maka saya, di mana sekarang soal keamanan dan
Irian Barat itu boleh dikatakan selesai, Insya Allah
merasa sanggup
untuk mengatasi bottlenecks dan kesulitan-kesulitan dari persoalan
ekonomi dalam waktu pendek yang tidak terlalu panjang. Sementara itu
saya di sini menandaskan, bahwa untuk lancarnya pelaksanaan program
ekonomi (antara lain sandang-pangan) maka perlulah kita benar-benar
menyingkirkan beberapa penyakit. Di antara penyakit-penyakit itu, yang
terpokok ialah terlalu parahnya penyakit Komunisto-phobi, kiri-phobi,
Rakyat-phobi, buruh-phobi dan tani-phobi, yang masih ngendon di dalam
hati dan kepala setengah alat-alat negara yang bersangkutan. Untuk
menyebutkan beberapa contoh: Guna menaikkan produksi, maka sudah
beberapa lama saya anjurkan untuk membentuk
Dewan-dewan Perusahaan,
di mana diikutsertakan wakil-wakil kaum buruh dan kaum tani dan
wakil-wakil golongan-golongan Rakyat lainnya, tetapi sesudah sekian lama
dan berulang-kali saya peringatkan, baru sekarang inilah mulai
dibentuk, dan pembentukannyapun jalannya seperti
keong, lambatnya
bukan kepalang. Sudah berapa lama saya anjurkan, dan malahan sudah
berapa lama lahir Undang-undangnya, supaya perjanjian
Bagi Hasil
yang agak menguntungkan kaum tani dan Landreform dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh, tetapi sampai sekarang belum dilaksanakan betul-betul
sebagaimana mestinya. Semuanya ini jika diteliti sebab-sebabnya, akan
terbukti bahwa yang menjadi penghalang ialah Komunisto-phobi,
kiri-phobi, Rakyat-phobi, dan sebagainya! Si penderita penyakit ini
takut membentuk Dewan-dewan Perusahaan, Dewan-dewan Produksi, demikian
pula Dewan-dewan Distribusi dan Panitia Pembelian Padi, dan lain
sebagainya, karena mereka tahu, bahwa jika ini dibentuk, maka akan
berarti mengangkat dan mengikutsertakan wakil-wakil buruh atau tani, dan
di antaranya terdapat orang-orang Komunis yang mereka takuti. Mengenai
Landreform, misalnya, masih ada saja orang-orang yang suka
menegas-negaskan bahwa Landreform Indonesia, adalah “bukan Landreform
Komunis”, malah lebih daripada itu: mereka mencoba-coba
mencocok-cocokkan Landreform Indonesia dengan “Landreform” di Taiwan
atau di Vietnam Selatan! Dengan demikian, mereka bukannya mengurangi,
tetapi malah
mempertebal komunisto-phobi, sekurang-kurangnya
mereka sendiri masih komunisto-phobi. Dengan demikian, masih tepat apa
yang pernah saya katakan dalam Jarek, bahwa “masih ada saja orang-orang
yang tidak bisa berfikir secara bebas
apa yang baik bagi Rakyat Indonesia, dan
apa keinginan Rakyat Indonesia, melainkan
a priori telah benci dan menentang segala apa saja yang mereka
sangka adalah
kiri dan adalah “Komunis”.
Dalam Risalah “Mencapai Indonesia
Merdeka” yang saya tulis 30 tahun yang lalu, pernah saya tulis: “Kita
harus merdeka agar kita bisa leluasa bercancut-taliwanda menggugurkan
stelsel kapitalisme dan imperialisme. Kita harus merdeka, agar supaya
kita bisa leluasa mendirikan suatu masyarakat baru yang tiada
kapitalisme dan imperialisme. Selama kita belum merdeka, selama kita
belum bisa
leluasa menggerakkan kita punya badan, kita punya tangan, kita punya kaki, selama kita dus masih
terhalang
di dalam kita punya gerak bangkit – tidak bisa “kiprah”
sehebat-hebatnya, – selama itu kita tidak bisa habis-habisan-tenaga
menghanjut stelsel kapitalisme dan imperialisme. Selama itu maka
kapitalisme dan imperialisme akan tetap berkuasa sebagai yang mahasakti,
bertakhta di atas singgasana kerezekian Indonesia, tidak bisa
digugurkan daripada singgasana itu hingga mati menggigit debu …”
Jika sekarang ini di alam Indonesia Merdeka, bagian terbesar dari Rakyat, yaitu kaum buruh dan kaum tani, belum bisa
berleluasa bercancut-taliwanda,
masih terhalang dalam segala gerak-bangkitnya, sehingga tidak-bisa
“kiprah” sehebat-hebatnya untuk secara habis-habisan menghanjut kaum
imperialis dan kakitangan-kakitangannya di dalam negeri, maka semuanya
ini adalah karena sebagian kita ini masih hidup seperti di alam
kolonial, terutama belum lepas dari komunisto-phobi.
Masih terlalu banyak instruksi-instruksi
dan tindakan-tindakan Presiden yang ditujukan untuk memobilisasi,
mempersatukan dan mengikutsertakan kekuatan-kekuatan Rakyat yang
revolusioner, tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, atau malahan
diam-diam kadang-kadang “dijegal” atau “diserimpung” oleh alat-alat
negara sendiri. Satu contoh saja misalnya mengenai pengerahan dan
pemersatuan Rakyat melalui Front Nasional. Pekerjaan Front Nasional
sekarang ini kadang-kadang digerowoti dan dipecah-belah oleh orang-orang
yang masih menderita sesuatu phobi. Malahan masih ada satu daerah, yang
di situ itu belum dapat dibentuk Front Nasional daerah, karena adanya
orang-orang yang komunisto-phobi!
Tetapi sekali lagi saya katakan, saya
tidak segan dan menundukkan kepala kalau Rakyat memarahi saya, dan saya
akan terima kemarahan itu dengan tenang. Tetapi sebaliknya sayapun tidak
segan untuk menudingkan jari saya kepada golongan-golongan yang selalu
mencari keuntungan dari keadaan inflasi, atau dengan sengaja menjalankan
subversi ekonomi untuk menyulit-nyulitkan dan menjegal-jegal segala
gerak-gerik Republik atau pimpinan Republik. Kepada mereka itu saya
berkata: Satu hari akan datang yang engkau melihat segala usahamu gagal.
Dan mungkin satu hari akan datang, yang engkau harus menebus
kejahatanmu itu di dalam penjara, atau di tiang penggantungan!
Saudara-saudara! Waktu tidak mengizinkan
saya untuk membicarakan hal-hal lain yang penting-penting pula. Kepada
para menteripun saya menyatakan penyesalan saya, bahwa tidak semua
laporan mereka itu dapat saya masukkan dalam pidato ini. Tadi sudah saya
katakan bahwa hari ini adalah hari Jum’at. Tapi haraplah
Saudara-saudara tetap mendengarkan saya sampai habis. Tepat pada
waktunya, Saudara-saudara boleh pulang.
Saudara-saudara! Saya sekarang tiba pada kata penutup.
Kata
pembukaan, sebagai tadi Saudara dengarkan, menguraikan
irama dari perjoangan kita di tahun yang lampau.
Kata
penutup harus memberikan
pedoman dalam menghadapi masalah-masalah di tahun yang akan datang.
Apakah pedoman ini?
Peganglah teguh-teguh dalam ingatan
Saudara-saudara: Perjoangan kita atas dasar Manipol-USDEK dan RESOPIM
sudah mulai membawa hasil yang menyenangkan. Lihatlah pada hasil-hasil
besar daripada perjoangan kita itu yang sekarang sudah tertulis dengan
bintang-bintang di angkasa, lihatlah hasil-hasil lain yang berupa
stadion-stadion di dalam kalbunya Rakyat, lihatlah hasil-hasil lain
besar-kecil yang Saudara dapat lihat dengan mata dan raba dengan tangan
di kanan-kiri Saudara! Kewajiban kita ialah terus bersatu-padu dan terus
bergotong-royong sambil memegang teguh Manipol-USDEK dan RESOPIM itu,
dan memperluas dan memperdalam pelaksanaan Manipol-USDEK dan RESOPIM
itu.
Mengenai ini saya memperingatkan kepada
satu hal yang kita harus waspada: Yaitu, kepada adanya orang-orang yang
dalam perkataan mengikuti Manipol-USDEK dan RESOPIM, akan tetapi dalam
prakteknya bertentangan dengan Manipol-USDEK dan RESOPIM. Waspadalah
terhadap orang-orang yang demikian itu! Waspadalah! Sebab jikalau tidak,
maka nanti
mudah tumbuh pengrongrongan Revolusi dari dalam.
Jagalah supaya Revolusi kita ini tetap
murni dan segar! Lihat, ia sudah mulai mendatangkan hasil-hasil yang
baik. Revolusi kita sekarang ini bukan lagi hanya mendatangkan
kesulitan-kesulitan dan pengorbanan-pengorbanan belaka, ia juga sudah
mulai mendatangkan
kelezatan-kelezatan. Sifat “negatif”, sifat
“destruksi”, sifat “menjebol” daripada Revolusi kita ini sekarang sudah
mulai berkurang, – sifat “positif”, sifat “konstruksi”, sifat “membina”
sudah mulai berkembang. Apa yang sudah ditanam dalam Revolusi kita ini,
sekarang sudah mulailah berkembang atau berbuah. Boleh dikata, bahwa
Revolusi kita sekarang ini sudah meningkat kepada taraf “tumbuh”
sendiri, yaitu sudah meningkat kepada tingkat
Selfsustaining growth atau
selfpropelling growth, –
bertumbuh sendiri atas dasar hasil Revolusi sendiri, laksana tanaman yang sudah “jadi”, tak perlu dirabuk-rabuk, tak perlu disiram-didangir setiap hari.
Dan hasil-hasil Revolusi kita ini tidak
hanya kita saja yang merasakan lezatnya, seperti ternyata dalam “year of
triumph” ini, tidak!, akan tetapi seluruh dunianya “new emerging
forces”-pun mengakui konsolidasi dan kemajuan kita ini, dan mereka ikut
kagum, dan mereka ikut gembira. Memang Revolusi kita adalah
sebagian
daripada Revolusi-dunia yang besar, sebagai sudah saya uraikan dalam
salah satu pidato 17 Agustus beberapa tahun yang lalu. Revolusi
Indonesia, kataku tempohari, adalah “congruent dengan social conscience
of man”, “Kongruen dengan budi-nurani kemanusiaan”, dan sekarang nyata
benar bahwa Revolusi Indonesia itu sungguh-sungguh mempunyai suara yang
mengumandang keempat penjuru daripada dunia”, Revolusi Indonesia
mempunyai
Universal Voice, – Revolusi Indonesia mempunyai
Suara Sejagad!
Di mana-mana, di Kongo, di Aljazair, di Angola, di Mesir, di Afrika
Baratdaya, di Cuba, di Amerika Latin yang lain, di negara-negara
sosialis, – di mana-mana orang mendengarkan Suara Dengungnya Revolusi
Indonesia, di mana-mana orang mendengarkan
the Universal Voice daripada Revolusi Indonesia. Karena itulah maka
Indonesia lah
dipersilahkan oleh negara-negara Asia-Afrika untuk mengambil inisiatif
mengadakan Konperensi Asia-Afrika yang kedua. Insya Allah, akhir tahun
ini kita mengadakan Konperensi Asia-Afrika ke II, di Bandung lagi!
Dan bukan di kalangan ”new emerging
forces” saja orang mengakui konsolidasi Revolusi kita itu. Di kalangan
”old establish forses”-pun orang mengakui konsolidasi dan kemajuan
Revolusi kita itu, di kalangan ”old establish forces”-pun Revolusi kita
ini sekarang sudah dipandang sebagai satu fenomen-dunia yang besar
artinya, satu fenomen yang harus diperhatikan sungguh-sungguh. ”The
Indonesian Revolution has become a phenomenon of threatening issue”,
demikianlah seorang penulis mereka pernah menulis beberapa bulan yang
lalu.
Ya!, atas dasar Manipol-USDEK dan RESOPIM, maka Revolusi Indonesia sekarang sudah menaik kepada tingkat
selfpropelling growth: Kita maju atas dasar kemajuan! Kita mekar atas dasar kemekaran! Kemajuan sudahlah mempunyai momentum sendiri, dan kewajiban kita ialah jangan sekali-kali melepaskan momentum itu.
Karena itu, hai Rakyat Indonesia dari
Sabang sampai Merauke, jangan lepaskan konsolidasi dan kemajuan ini,
jangan meninggalkan dasar dan landasan daripada konsolidasi dan kemajuan
ini yaitu Manipol-USDEK-Resopim, jangan kendor, jangan ragu-ragu,
jangan mandek, berjalanlah terus atas dasar Landasan itu, untuk
mendapatkan hasil-hasil yang lebih besar lagi.
Tahun 1962 adalah Tahun Kemenangan,
setidak-tidaknya Tahun Permulaan Kemenangan. Merasalah bangga bahwa kita
ini putera-putera Indonesia! Merasalah bangga, bahwa kita ini
anggauta-anggauta Bangsa Indonesia!!
Kita tidak boleh sombong, tetapi kita mempunyai alasan-alasan dan dasar-dasar yang nyata untuk menghadapi masa-datang dengan
penuh kepercayaan!
Gelagat-gelagat yang kita lihat sekarang ini ialah, bahwa
Indonesia Pasti Jaya.
Kita selalu suka membayar beya. Kita pasti nanti basuki!
Sekian!
Terimakasih!
Sumber:
https://strez.wordpress.com/buku-blog-gratis-anticopyright/dibawah-bendera-revolusi-2/dibawah-bendera-revolusi/rahasia/tahun-kemenangan/