Rabu, 17 Juni 2015

Ketika Sekolah Dijadikan Lahan Komersial

Baru kemarin aku ngrasain bagaimana penerimaan raport kebetulan bersamaan dengan penerimaan hasil NEM adikku atau hasil Nilai Ujian Nasional. Perasaan yang awalnya deg-degan berbuah pada perasaan yang akhirnya marah oleh orang tuaku pada adikku karena tanpa diduga ternyata hasil UN tidak memuaskan. Seperti biasa orang tuaku menginginkan adikku sekolah di SMP terfavorit di desaku. Namun apa daya ternyata NEM adikku saja sudah dibawah 24. Tapi entahlah entah keterima atau tidak itulah nasib.
Aku sebenarnya juga nggak setuju dengan sistem pendidikan di Indonesia. Kenapa?Karena aku merasa sistem pendidikan Indonesia lebih bersifat kapitalis. Artinya lembaga pendidikan yang dinamakan sekolah cenderung digunakan untuk media komersialisasi yang pada akhirnya sekolah yang banyak peminatnya menjadi sekolah yang terfavorit dan mendatangkan banyak keuntungan bagi kaum guru sedangkan yang sedikit peminat dijadikan alternatif bagi anak yang tidak diterima di sekolah yang banyak peminatnya tersebut karena harus memenuhi persyaratan yang ada. 
Sekolah sebenarnya merupakan tempat bagi murid untuk mendapatkan berbagai macam ilmu, pengetahuan dan lainnya untuk menuntun siswa menjadi manusia yang berakhlak mulia, memiliki intelektual serta berbudi pekerti luhur serta menjadi manusia yang bertaqwa. Namun pada kenyataannya sekolah sebagai lembaga institusi di Indonesia justru hanyalah dijadikan sebagai tempat untuk menanam bisnis bagi para guru untuk di sekolah tersebut demi nama sekolah tersebut.
Fenomena ini sudah lama terjadi di Indonesia. Walaupun banyak sekali pakar pendidikan dan orang-orang yang peduli terhadap dunia pendidikan Indonesia mengkritik sistem pendidikan yang bersifat komersial ini, namun kritikan mereka hanyalah sebuah kritik yang berlalu tanpa dikaji oleh pemerintah saat ini. Apalagi pemerintah Indonesia saat ini lebih cenderung tidak memahami realita yang dialami para peserta didik tersebut.
Saat pendaftaran tahun ajaran baru berlangsung banyak orang tua murid yang berlomba-lomba mendaftarkan anak mereka di sekolah negeri yang dianggap terfavorit sedangkan yang sekolah swasta hanya dijadikan alternatif bagi mereka yang tidak diterima di sekolah negeri. Di Indonesia anehnya guru-gurulah yang mencari murid bukan murid yang mencari guru. Jika sekolah yang sepi peminat akhirnya sekolah tersebut ditutup.
Banyak orang tua yang menganggap jika anak yang bersekolah di sekolah favorit mereka akan menjadi berhasil dan berprestasi nantinya dan berakhlak baik karena murid yang berada di sekolah favorit muridnya pandai-pandai dan baik-baik. Padahal yang menentukan keberhasilan seorang anak bukanlah sekolah tersebut melainkan anak itu sendiri. Namun karena di sekolah favorit banyak anak yang berprestasi akhirnya sekolah tersebutlah yang hanya numpang kepopuleran prestasi anak tersebut. Padahal sejatinya sekolah hanyalah sebagai fasilitator anak tersebut untuk bisa meraih prestasi tersebut. Hal ini tentu saja membuat peserta didik menjadi korban dari bisnis yang dilakukan sekolah maupun oleh orang tua. Karena orang tua yang anaknya berhasil diterima di sekolah negeri terfavorit mereka akan berbangga hati padahal belum tentu anak tersebut sependapat dengan keinginan orang tua mereka. Bisa saja anak menginginkan sekolah ini, namun karena orang tua ingin bisa dipandang terhormat maka anak tersebut disekolahkan di sekolah yang terfavorit.
Mungkin itulah bobroknya sistem pendidikan Indonesia saat ini. Berkaitan dengan masalah pendidikan yang lain akan dibahas di artikel yang lain.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar