Hubungan agama dan negara di Indonesia memang suatu
persoalan yang begitu pelik. Dalam sejarah, berbagai perdebatan selalu
mengemuka dalam publik persoalan ini. Mulai dari penyusunan Dasar Negara ketika
sidang BPUPKI hingga sidang Konstituante selalu dipenuhi dengan perdebatan
apakah agama dan negara harus dipisahkan, atau disatukan. Para founding
fathers kita saat itu banyak mengajukan konsep verhoudingen ini.
Soekarno dalam sidang BPUPKI mengusulkan agar agama harus dipisahkan dari ruang
publik. Ia sangat terinspirasi dari implementasi kehidupan bernegara di Turki
saat itu. Lalu Soepomo mengusulkan konsep negara integralistik yang
menggabungkan agama dan negara, sehingga peran agama menjadi dominan.
Sebenarnya, persoalan ini berakar dari karena belum lazimnya istilah
diferensiasi ketika itu. Maksudnya, nilai-nilai agama mengandung landasan moral
yang bisa menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam Pancasila, nilai Ketuhanan tidak hanya sebatas
diimplementasikan pada aktivitas ritual belaka. Namun juga menyangkut hubungan
antar manusia dan lingkungannya. Dalam pada itu, kita dengan meminjam istilah yang
dipakai Alfred Stepan, mengenal “twin tolerantion”. “Twin Tolerantion” adalah
konsep toleransi kehidupan beragama dalam satu negara dimana nilai-nilai agama
diterapkan dalam berbagai peraturan-peraturan serta penyelenggaraan bernegara.
Nilai-nilai universal agama dapat diterapkan sejauh tidak mencampuri urusan agama
masing-masing individu.
Banyak sekali kaum ekstrimis Islam yang menginginkan
negara Islam di Indonesia menurut bayangan mereka. Sejatinya mereka lebih
menginginkan kedamaian menurut pandangan mereka sejauh tidak bertolak belakang
dengan keinginan mereka. Pancasila menolak sistem sekularisme dan integralisme.
Itulah mengapa, para pendiri bangsa kita dari kalangan ulama, saat sebelum
sidang PPKI 18 Agustus menghapus tujuh kata setelah Ketuhanan demi kemaslahatan
bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar