Senin, 02 Oktober 2017

Agama dan Negara


Hubungan agama dan negara di Indonesia memang suatu persoalan yang begitu pelik. Dalam sejarah, berbagai perdebatan selalu mengemuka dalam publik persoalan ini. Mulai dari penyusunan Dasar Negara ketika sidang BPUPKI hingga sidang Konstituante selalu dipenuhi dengan perdebatan apakah agama dan negara harus dipisahkan, atau disatukan. Para founding fathers kita saat itu banyak mengajukan konsep verhoudingen ini. Soekarno dalam sidang BPUPKI mengusulkan agar agama harus dipisahkan dari ruang publik. Ia sangat terinspirasi dari implementasi kehidupan bernegara di Turki saat itu. Lalu Soepomo mengusulkan konsep negara integralistik yang menggabungkan agama dan negara, sehingga peran agama menjadi dominan. Sebenarnya, persoalan ini berakar dari karena belum lazimnya istilah diferensiasi ketika itu. Maksudnya, nilai-nilai agama mengandung landasan moral yang bisa menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam Pancasila, nilai Ketuhanan tidak hanya sebatas diimplementasikan pada aktivitas ritual belaka. Namun juga menyangkut hubungan antar manusia dan lingkungannya. Dalam pada itu, kita dengan meminjam istilah yang dipakai Alfred Stepan, mengenal “twin tolerantion”. “Twin Tolerantion” adalah konsep toleransi kehidupan beragama dalam satu negara dimana nilai-nilai agama diterapkan dalam berbagai peraturan-peraturan serta penyelenggaraan bernegara. Nilai-nilai universal agama dapat diterapkan sejauh tidak mencampuri urusan agama masing-masing individu.

Banyak sekali kaum ekstrimis Islam yang menginginkan negara Islam di Indonesia menurut bayangan mereka. Sejatinya mereka lebih menginginkan kedamaian menurut pandangan mereka sejauh tidak bertolak belakang dengan keinginan mereka. Pancasila menolak sistem sekularisme dan integralisme. Itulah mengapa, para pendiri bangsa kita dari kalangan ulama, saat sebelum sidang PPKI 18 Agustus menghapus tujuh kata setelah Ketuhanan demi kemaslahatan bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar